Jakarta, Indonesia —
CISSReC President Security Research Institute CISSReC Pratama Persadha menilai bidang keamanan siber dan perlindungan data masih menjadi pekerjaan rumah penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Pratama meminta Prabov fokus pada keamanan siber dan melindungi data pemerintahannya.
Dalam pidato pertamanya sebagai presiden, Prabowo dengan antusias menyampaikan beberapa gagasan untuk pemerintahannya, namun tidak menyinggung masalah keamanan siber. Bahkan, dalam sumpah pengukuhannya, ada beberapa hal yang diutarakan Prabowo, salah satunya adalah menerapkan semua peraturan perundang-undangan.
“Fokus pada keamanan siber dan perlindungan data pribadi diharapkan menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan Presiden Prabov,” kata Pratama, Minggu (20/10).
Pratama menjelaskan, undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi yang berlaku mulai Oktober 2024 belum sepenuhnya diterapkan karena belum ada organisasi yang secara publik melakukan pengawasan terhadap alat dan permasalahan terkait perlindungan data pribadi lembaga. baik perusahaan pemerintah maupun swasta, yang menjadi korban data gratis.
Padahal, pemerintah memberikan waktu 2 tahun kepada otoritas personal, pengolah personal, dan pihak lain yang terlibat dalam pengolahan data pribadi untuk menjaga adaptasi tersebut.
UU PDP memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai pengumpulan, penggunaan dan penyimpanan data pribadi, serta memberikan sanksi yang lebih tegas atas pelanggaran.
Sayangnya, baik undang-undang kamar mandi di PDP yang seharusnya membahas secara rinci sanksi yang bisa dikenakan tidak hanya kepada perorangan, tetapi juga kepada pemerintah, maupun lembaga perlindungan data pribadi yang selama ini tidak bisa ditindaklanjuti. didirikan. Mereka diajukan oleh Presiden Joko Widodo sebelum masa jabatannya berakhir.
Bukti bahwa pemerintah sebelumnya tidak peduli atau tidak peduli dengan urgensi pembentukan Badan Perlindungan Data Pribadi semakin jelas terlihat dari pernyataan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria, Senin. , 14 Oktober, yang menyatakan kemungkinan Badan Perlindungan Data Pribadi masih periode 6, butuh waktu 12 bulan, kata Pratama.
Menurutnya, hal tersebut tidak boleh dilakukan jika Pemerintah menganggap penerapan UU di PDP merupakan hal yang sangat mendesak, karena sejak SK tersebut disahkan pada tahun 2022 dan masih dalam tenggang waktu 2 tahun, berbagai hal sudah dapat dilakukan. dilakukan. . oleh Pemerintah, dimulai dengan pembentukan PDP dan pengesahan undang-undang turunan dari undang-undang PDP yang mengatur lebih rinci mengenai sanksi yang dapat dikenakan baik kepada pihak swasta maupun swasta.
“Koordinasi dengan kementerian lain mengenai perlunya nomenklatur khusus harus dibicarakan pada masa transisi 2 yang telah diberikan, sehingga tidak ada kesan kementerian-kementerian saling bungkam mengenai siapa yang kini bertanggung jawab dalam proses pembentukannya. Badan Perlindungan Data Pribadi”, tegasnya.
Selain itu, Pratama menegaskan, ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah keamanan siber terlihat dari belum adanya publikasi untuk menyelidiki kebocoran data yang terjadi selama ini. Sejauh ini, kata dia, belum ada yang dirilis mengenai hasil audit atau forensik digital dari peristiwa tersebut.
Berdasarkan hasil audit dan forensik digital, banyak organisasi bahkan tidak mengakui bahwa mereka telah mengalami pelanggaran data, dan mereka juga berasumsi bahwa pelanggaran merek telah terjadi pada pihak lain, yang juga serupa dengan data, meskipun Data Pihak Pengendali dan Pemroses Data bertanggung jawab jika data memenuhi kebebasan.
Tidak adanya pelatihan formal untuk PDP memperburuk situasi ini. Dengan tidak adanya PDP organisasi yang dapat memberikan sanksi tersebut, maka seolah-olah perusahaan atau organisasi yang merasakan pengalaman data pribadi tersebut, mengabaikan risiko keamanan siber.
(istirahat/dmi)