Jakarta, CNN Indonesia —
Wina Permita (38), ibu rumah tangga asal Kalibata, Jakarta Selatan, bisa jadi termasuk yang menyukai kebijakan mobil listrik Presiden Joko Widodo. Mungkin manfaatnya bagi perempuan cukup sederhana: mereka bebas mengikuti aturan-aturan aneh di ibu kota. Oleh karena itu, ia memutuskan membeli Wuling Binguo EV.
“Yang menarik, Jakarta ramai dan ada aturan yang aneh. Sementara kalau pakai mobil listrik, Anda kebal terhadap aturan itu. Jadi tidak perlu mengubah tanggal saat bepergian.” ujarnya kepada fun-eastern.com, Kamis (17/10).
Peralihan industri otomotif lokal ke era elektrifikasi dipercepat pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Peraturan ini menghubungkan ekosistem kendaraan listrik hulu dan hilir, yang bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih awal.
Jokowi menghentikan ekspor bijih nikel pada tahun 2020 untuk mempromosikan komoditas hilir pertambangan di dalam negeri. Nikel merupakan salah satu bahan baku penting produksi baterai kendaraan listrik yang melimpah di Indonesia.
Menteri Energi dan Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada pekan ini menyatakan Indonesia memiliki 40 hingga 45 persen cadangan nikel dunia, mengutip data geologi Amerika Serikat pada awal tahun 2024.
Pemurnian nikel berkembang pesat di tanah air, terutama di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, yang mewakili 90 persen cadangan nikel Indonesia.
Konsumen seperti Wina dan jutaan orang lainnya mungkin juga tergoda untuk membeli mobil listrik karena banyaknya baterai di negara tersebut.
Beralih ke mobil listrik
Sifat ramah lingkungan dan promosi industri mobil lokal merupakan persimpangan kompleks yang dapat dipilih. Pasalnya, percepatan transisi menuju elektrifikasi yang terlalu cepat belum tentu bisa dicapai oleh industri mobil besar dalam negeri berkat teknologi ICE (Internal Combustion Engine).
Kendaraan ICE menjadi sorotan dalam mencapai target NZE 2060 karena dinilai menimbulkan emisi knalpot dalam jumlah besar yang menyebabkan pencemaran udara, khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Namun transisi menuju elektrifikasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintahan Jokowi mencoba menyusun ide dan peraturan untuk memastikan transisi yang lancar.
Dikutip dari website Kementerian Perhubungan, Indonesia merupakan negara penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia. Pada tahun 2022, negara ini menghasilkan 1,3 gigaton karbon dioksida, dan 50,6 persen emisinya berasal dari transportasi.
Pada saat yang sama, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 32%, atau 358 juta ton karbon dioksida, pada tahun 2030.
Di awal masa jabatan kedua Jokowi, pemerintah langsung memberikan insentif untuk mempercepat transisi ke elektrifikasi.
Insentif ini tidak hanya diperuntukkan bagi konsumen, namun pelaku industri juga mendapatkan keuntungan dari pemerintah jika memproduksi dan menjual kendaraan listrik ramah lingkungan di Indonesia.
Pintu gerbang elektrifikasi industri otomotif dimulai dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan listrik baterai.
Berbagai insentif fiskal dan non-fiskal telah ditetapkan melalui keputusan presiden untuk mempercepat transisi masyarakat ke kendaraan listrik bertenaga baterai.
Melalui Perpres yang diteken Jokowi pada 8 Agustus 2019, pemerintah memberikan insentif, menyediakan infrastruktur pengisian baterai kendaraan listrik, dan pengolahan limbah baterai.
Salah satu kebijakan yang paling menarik dalam aturan ini adalah insentif pemerintah bagi pembeli kendaraan listrik.
Pasal 17 ayat (2) menyebutkan pemerintah pusat dan daerah memberikan insentif perpajakan dan insentif non pajak. Insentif perpajakan terdiri dari pajak impor, insentif pajak penjualan atas barang mewah dan pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah.
Sedangkan insentif non-pajak antara lain pengecualian pembatasan penggunaan jalan raya seperti ganjil malam, pelimpahan hak produksi terkait KBL berbasis baterai yang izinnya dipegang pemerintah, dan masih banyak lagi.
Tak berhenti sampai disitu, empat tahun kemudian, Jokowi mengeluarkan revisi Perpres yang mengatur tentang insentif kendaraan listrik full-built (CBU). Jokowi menandatangani pada 8 Desember 2023.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik di Jalan Raya.
Berkat terbitnya Perpres ini, produsen kendaraan listrik global bisa mengimpor mobil listrik lengkap dari luar negeri dan menjualnya langsung ke konsumen di Indonesia, bahkan mendapat keringanan pajak.
Insentif tersebut antara lain berupa pembebasan bea masuk atau bea masuk yang ditanggung pemerintah, pembebasan PPnBM DTP, dan penurunan tarif pajak daerah.
Praktik ini memungkinkan produsen untuk menawarkan kendaraan CBU impor dengan harga yang wajar karena beban pajak telah diringankan. Namun, produsen peserta program ini harus memastikan memproduksi mobil listrik dengan kapasitas produksi setara dengan jumlah impor.
Wina juga menyebut pembelian mobil listrik saat pemerintah memberikan insentif PPN 10 persen. Wuling Binguo buatan Indonesia dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) melebihi 40 persen bisa mendapat diskon lebih dari Rp 10 juta.
Hanya saja, jangan berhenti di situ. Wina berharap pemerintah bisa menggelar “karpet merah” mobil listrik agar semakin banyak masyarakat yang tertarik membelinya.
Karpet merah yang dimaksudnya adalah kampanye pengisian listrik gratis di tempat umum dengan diskon atau bebas pajak mobil tahunan.
“Saya berharap Welling tidak memberikan promosi, tapi pemerintah juga bisa membayar, misalnya bebas pajak atau komisi,” ujarnya.
Salah satu penggemar insentif pemerintah, Padil yang berdomisili di Jakarta Barat dan pemilik mobil Hyundai Ioniq 5, membahas infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang kini berkembang seiring dengan kebijakan elektrifikasi Jokowi.
Menurut dia, SPKLU sudah cukup, tapi masih belum cukup. “SPLUnya cukup, ada di setiap rest area. Cuma tidak banyak, jadi harus mengisi antrean,” ujarnya.
Padil mengatakan, penggunaan SPKLU perlu ditingkatkan agar konsumen kendaraan listrik lebih nyaman, misalnya untuk memperjelas pengaturan antrian.
– Polisi harus memberikan nomor antrian agar tidak saling mengganggu, ujarnya.
Fadil menceritakan pengalamannya berkendara dari Jakarta ke Solo tahun ini saat haji Idul Fitri. Ia mengatakan, banyak SPKLU fast-charging yang membantu mobil listrik menempuh jarak jauh karena baterainya bisa diisi dengan cepat.
“Sebagai pengguna (saya ingin) menambah jumlah SPKLU. Pengisian daya 200 kW di rest area memakan waktu 20-45 menit. Kalau bisa, listriknya dikurangi seperti ini,” ujarnya.
Elektrifikasi industri otomotif di Indonesia yang dirintis Jokowi, kini giliran pemerintahan baru pimpinan Pravo Subianto yang memutuskan kelanjutannya.
Masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan, dan banyak hal yang penting untuk dicarikan solusinya.
Wina dan Fadil mungkin menunggu terobosan berikutnya dalam ekosistem mobil listrik Tanah Air sambil menikmati kebebasan berkeliaran di jalanan ibu kota ketika aturan aneh itu mulai berlaku. (tapi / fea)