Jakarta, CNN Indonesia —
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso mengatakan hakim banyak melakukan kesalahan dalam putusan kasus suap mantan Pengelola Tanah Bumbu Mardani H. Maming.
Keputusan pokok yang bisa diambil adalah keputusan yang secara jelas menunjukkan kesalahan wasit atau kesalahan nyata, kata Topo dalam sambutannya, Selasa (15/10).
Menurut Topo, kesalahan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga persoalan hukum utama. Pertama, elemen “diterima sebagai hadiah” salah
“Karena dalam proses komersial dan interpersonal seperti penarikan fee, dividen, dan hutang seolah-olah memenuhi unsur ‘penerimaan hadiah’ hakim,” ujarnya.
Permasalahan kedua adalah penggunaan unsur “probabilitas yang wajar”, yang juga tidak tepat. Sebab, kata dia, bagian “pengetahuan yang wajar” digunakan untuk menunjukkan kejahatan (kelalaian) terdakwa. Namun Topo menilai unsur tersebut kurang tepat digunakan dalam perkara tindak pidana korupsi, yang seharusnya lebih diutamakan pada opzet (tindakan yang disengaja).
Topo mengatakan, tindakan partai oposisi yang berujung pada perintah eksekutif tersebut dinilai sesuai dengan peraturan perundang-undangan pemerintahan. Oleh karena itu, pertanyaan ini tidak boleh ditanyakan dalam konteks hukum pidana.
Fakta bisnis seperti transfer antar perusahaan atau utang, urusan perdata harus dipisahkan dari tindak pidana, ujarnya.
Selain itu, kata Topo, juga ada putusan Pengadilan Bisnis yang menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bisnis di dalam perusahaan.
Jika ada kesepakatan dengan putusan pengadilan, menurut Topo, belum bisa dikatakan kesepakatan damai.
Persoalan terakhir adalah kesalahan penerapan Pasal 12 huruf b UU PTPK. Jika majelis hakim tingkat pertama, putusannya ditegakkan oleh Pengadilan Banding dan Pengadilan, maka keliru jika menganggap seluruh aspek Pasal 12 huruf b UU PTPK terpenuhi.
“Tidak tampak apa-apa selain alasan (niat buruk) dari perbuatan terdakwa, prosedur hukum telah dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak ada alasan antara keputusan terdakwa dengan diterimanya dividen, biaya atau saham yang dianggap hadiah,” kata Topo.
Dari ketiga hal tersebut, Topo menilai Maming patut dihukum. Ia pun menilai Mahkamah Agung (MA) harus mengembalikan harkat dan martabat terdakwa sesuai dengan keadaan yang terjadi sebelumnya.
“Berdasarkan dokumen-dokumen yang saya periksa, tidak hanya putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan penuntutan, saya yakin ada kekeliruan nyata dalam penanganan perkara ini,” demikian bunyi putusan Gubernur.
Sebelumnya, MA menolak kasasi mantan anggota parlemen PDIP dan mantan Wali Kota Kabupaten Tanah Bumbu Mardani Maming dan memvonisnya 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta ditambah empat bulan penjara. Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin (PT).
Saat ini, MA sedang memutus permohonan peninjauan kembali yang diajukan Maming melalui kuasa hukumnya, Abdul Qodir. Laporan Panitera MA, permohonan PK Mardani Maming telah terdaftar dalam perkara nomor: 1003 PK/Pid.Sus/2024.
(ryn/DAL)