Jakarta, CNN Indonesia —
Menteri Perumahan dan Permukiman Maruaral Sirayat ditugaskan oleh Presiden Prabowo Subiano untuk bergerak cepat melaksanakan program 3 juta unit perumahan sosial.
Salah satu strategi yang dilakukannya adalah membangun rumah di atas tanah milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan properti sitaan Kejaksaan Agung (Kejgun).
Pria yang biasa disapa Ara ini menegaskan, perlu waktu untuk menyusun strategi mulai dari konsep, regulasi hukum, hingga implementasi.
Dia mengatakan, pembebasan lahan menjadi perhatian dalam rencana pembangunan 30 lakh rumah setiap tahunnya. Sementara itu, Kementerian Perumahan dan Permukiman juga perlu menyiapkan landasan hukum yang kuat.
“Dalam pembelian tanah tentunya kita akan memanfaatkan semaksimal mungkin apa yang sudah ada, misalnya saja saya sudah berkoordinasi dengan Jaksa Agung (Sanit al-Burhanuddin) bagaimana pemanfaatannya, karena tanah yang dimiliki banyak. telah disita.” katanya usai upacara pembukaan di Istana Negara, Jakarta, Senin (21 Oktober).
“Misalnya Menteri BUMN Perkeretaapian (KAI), lahannya banyak,” imbuhnya.
Meski demikian, Ara menegaskan, detailnya masih perlu dikaji di tingkat bawah, termasuk penyusunan anggaran pembangunan rumah alias basti, baik di kota maupun di desa.
Ia berharap program pembangunan perumahan rakyat bisa terealisasi menjelang hari ke-100 Prabowo berkuasa.
“Sekarang Oktober, November, Desember. Kita berharap setelah rencana aksi 100 hari Presiden Prabowo kita bisa mulai pembangunannya. Hari ini saya ucapkan terima kasih atas dukungan penuhnya kepada Jaksa Agung.” Aku bahkan lebih bersemangat.”
Sementara itu, Burhanuddin mengatakan, rencana pemanfaatan lahan sitaan tersebut akan segera dilaksanakan. Pihaknya juga akan segera mengklarifikasi dalam waktu dekat sejauh mana Kementerian Perumahan dan Permukiman bisa memanfaatkan tanah sitaan tersebut.
“Beliau (Maral) menyampaikan, ada pekerjaan yang harus diselesaikan untuk membangun sekitar 5 juta unit rumah dan sangat membutuhkan dukungan bersama dan ini menjadi tantangan kita bersama di Jakarta Selatan.
Dalam arti luas, strategi tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi keluarga yang belum memiliki rumah. Namun apakah ada bahaya di balik argumen ini?
Nairul Hooda, Kepala Bagian Ekonomi Pusat Penelitian Hukum Ekonomi (Selios), mengatakan penting bagi pemerintah untuk menyita tanah yang disita oleh Kejaksaan Agung, atau tanah “terlantar”, sebelum bisa membangun perumahan bagi masyarakat, jelasnya. . Milik BUMN.
Menurut dia, selama lahannya strategis, strategi tersebut sangat mungkin diterapkan. Misalnya, ada kekhawatiran pembangunan di lahan “terganggu” akan sia-sia jika lahan tersebut terlalu jauh dari tempat kerja pemilik rumah.
Nellul berpendapat salah satu faktor yang mempertimbangkan pembelian rumah adalah jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja serta ketersediaan transportasi umum. Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi, maka pembangunan rumah akan gagal.
Dia menyarankan, jika pemerintah mendapat lokasi yang strategis, maka perlu memastikan banyak hal lain, termasuk akses transportasi umum.
“Banyak unit rumah bersubsidi (MBR) bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang terbengkalai karena kurangnya penyewa. Ujungnya, ini menimbulkan risiko gagal bayar,” kata Nel kepada fun-eastern.com pada Oktober lalu, ujarnya, Rabu 23.