Jakarta, Indonesia —
Kasus tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan terdakwa pembunuhan Gregory Ronald Tannur adalah puncak gunung es.
Banyak pengamat sistem peradilan pidana berpendapat bahwa suap, khususnya yang diterima oleh hakim baru, kecil kemungkinannya untuk diungkapkan kepada publik. Kesan “tidak bertindak” oleh Mahkamah Agung (MA) dijadikan karpet merah bagi hakim untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Baru-baru ini, Badan Reserse Kriminal Khusus Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim yang membebaskan Ronald Tannur, yakni Erintua Damanik, Heru Khanindyo, dan Mangapul, sebagai tersangka yang mengambil uang tersebut.
Dalam kasus ini, ketiganya terbukti menerima uang atau hadiah dari kuasa hukum Ronald Tannur, Lisa Rahmat, guna mendapatkan pembebasan. Penyidik juga mengamankan uang tunai miliaran rupee dan beberapa mata uang asing dari keempat tersangka.
Setelah kecurigaan terungkap, ketiga hakim tersebut akhirnya diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung. Juru bicara MA Yanto mengatakan pembebasan sementara akan diusulkan oleh Mahkamah Agung dan dilaksanakan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Meski demikian, MA belum menyarankan Presiden Prabowo memberhentikan hakim Erintua, Mangapul, dan Heru. Yanto, yang mengatakan tawaran pembebasan akan dilakukan setelah melalui proses hukum oleh tiga hakim, mengumumkan bahwa mereka dinyatakan bersalah dan dipenjara oleh negara.
Abdul Fikar Hajjar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, menilai rasa puas diri atau beragamnya perilaku hakim merupakan persoalan sistemik, bukan yang terjadi saat ini. Ia mencontohkan beberapa kasus serupa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan juga diputus oleh Mahkamah Agung.
“Iya sepertinya penyakit sistemik, siapa pun yang ada hubungannya dengan lembaga peradilan atau ulama bisa merasakan dan berbuat,” ujarnya kepada fun-eastern.com, Jumat (25/10).
Ficcar menilai korupsi kolektif di kalangan hakim sedikit banyak bermanfaat, namun menurutnya masih belum cukup.
Oleh karena itu, dia menyatakan tidak ada niat meminta uang tambahan kepada hakim dari perkara yang mereka tangani.
Di sisi lain, Ficar mengatakan jika ada perbaikan dalam kualitas gaji, seharusnya lebih banyak hakim yang diberi hukuman lebih besar untuk mencegah korupsi.
“Itulah yang mereka katakan, makanya saya bilang bisa saja, karena dia merasa dibayar di bawah, jadi dia mencari keadilan, jadi kalau dinaikkan, dia akan mendapat hukuman maksimal atau penjara seumur hidup. relevan dan memberikan efek jera,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto juga mengamini kasus korupsi, khususnya pemerasan terhadap hakim, baru sedikit yang terungkap ke publik. Dengan demikian, hakim menilai tindakan suap tidak ada hubungannya dengan besaran upah yang diterima.
Contohnya adalah kasus Tannur, wesel yang dieksekusi oleh hakim senior Pengadilan Negeri Surabaya yang termasuk dalam kategori pengadilan 1A. Berdasarkan klasifikasi tersebut, Aan menilai ketiga majelis hakim tersebut memiliki jaminan yang cukup baik dari segi pendapatan dan tunjangan sebagai hakim senior.
“Apakah karena gaji hakimnya kecil? Saya belum pernah lihat ada korelasi antara gaji dengan itikad buruk seseorang. Tapi ini kan pengadilan tipe 1A, sepertinya terjamin, tidak bisa dilakukan untuk satu orang. A gajinya kecil maka mereka akan dibawa ke lingkaran:” jelasnya.