Jakarta, CNN Indonesia —
Pengadilan Korea Selatan memutuskan mantan kepala polisi Seoul Kim Kwang-ho bersalah karena kelalaiannya dalam menangani penumpasan massa Halloween tahun 2022 di Distrik Itaewon, Provinsi Yongsan, yang menewaskan 159 orang.
Pengadilan Distrik Seoul Barat mengatakan Kim dibebaskan dari semua tuduhan. Faktanya, pada tanggal 30 September, pengadilan menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada mantan kepala polisi Yongsan Lee Im-jae karena gagal mencegah insiden tersebut.
Lee dituduh gagal mempersiapkan diri secara memadai, yang menurut pengadilan menciptakan kondisi yang menyebabkan insiden paling mematikan di wilayah tersebut. Pangkat Lee lebih rendah dari Kim.
Sementara itu, dalam kasus Kim, pengadilan mengatakan “bukti yang cukup” menunjukkan bahwa dia telah melanggar kewajiban spesifik dan langsungnya untuk mempertimbangkan dan menanggapi insiden tersebut.
Persatuan kelompok aktivis yang menuntut tanggung jawab atas insiden tersebut meminta jaksa untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Menurut Reuters, asosiasi tersebut mengatakan bahwa keputusan tersebut tidak memenuhi harapan keluarga korban, yang menginginkan keputusan yang lebih pasti.
Reuters tidak dapat segera menghubungi jaksa untuk memberikan komentar.
Malam Halloween 2022 di distrik Itaewon Seoul merupakan peristiwa paling berdarah dalam sejarah Korea Selatan. Kerumunan besar tersebut menyebabkan terjadinya kerumunan. Peristiwa ini mengakibatkan 159 orang tewas dan lebih banyak lagi luka-luka.
Itaewon, yang dikenal sebagai kawasan kehidupan malam yang populer, dipenuhi oleh puluhan ribu orang yang datang untuk merayakan Halloween, menjadikannya salah satu keramaian terbesar di kota tersebut sejak wabah Covid-19 mereda.
Kerumunan massal terjadi di jalan-jalan sempit, terutama di dekat Hotel Hamilton. Saat itu, orang-orang tidak bisa bergerak dan mulai saling mendorong.
Situasi semakin tidak terkendali karena jumlah penduduk di sana jauh melebihi daya tampung kawasan. Saat kerumunan semakin mendekat, banyak korban yang tertindih dan terinjak, tercekik dan terluka parah.
Sebagian besar korbannya adalah kaum muda, termasuk remaja dan mereka yang berusia 20-an.
Tragedi ini memicu kemarahan masyarakat dan kritik terhadap pihak berwenang, khususnya polisi dan pemerintah daerah, karena dianggap gagal mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian yang memadai.
Ada laporan bahwa panggilan darurat dilakukan beberapa jam sebelum kejadian untuk memperingatkan adanya ancaman pengumpulan massa, namun responsnya lambat dan tidak efektif. (rds/rds)