Jakarta, CNN Indonesia –
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Ahmad Doli Kurnia menilai Undang-Undang (UU) Pengadaan Properti tidak diperlukan untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Dooley mengatakan visi tersebut berasal dari diskusi internal dengan beberapa anggota dewan Balegh.
“Iya sebenarnya kalau kita bicara pemberantasan korupsi, cukup kita juga mengesahkan undang-undang tentang penyitaan aset,” kata Dooli, Selasa (29/10) di Gedung Parlemen.
Namun Doli menghimbau masyarakat untuk tidak cepat menilai bahwa PKC tidak menginginkan undang-undang properti. Ia mengatakan, Baleg akan mengetahui RUU yang masih perlu direvisi dan segera mengesahkan undang-undang tersebut.
Namun yang terpenting dari UU pengambilalihan ini adalah pemerintahan Pak Prabowo (Presiden Prabowo Subianto) dan PPK berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, ujarnya.
Doli menegaskan PPK mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, Baleg akan menetapkan regulasi untuk memperkuat pemberantasan korupsi.
“Nah, undang-undang apa saja yang diperlukan, nanti akan kita kerjakan, kalau di undang-undang properti sedang kita selidiki.” Kata Politisi Golkar.
“Kalau perlu, itu bagian penting dalam pemberantasan korupsi, dan saya kira pemerintah dan DPRK akan mengkajinya lebih lanjut,” ujarnya.
Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), naskah Undang-Undang Peralihan Aset pertama kali dirancang pada tahun 2008, namun butuh waktu lebih dari satu dekade sebelum RUU tersebut menjadi prioritas PPK.
Baru pada tahun 2023 UU Hak Milik akan ditambahkan ke daftar Tindakan Prioritas. RUU tersebut merupakan Prolegna pilihan yang diajukan Pemerintah.
Namun, tidak ada perbaikan yang berarti. Pada 4 Mei 2023, Joko Widodo (Jokowi) saat menjabat sebagai presiden mengeluarkan Surat Presiden tentang UU Pengambilalihan.
Jokowi juga menunjuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kapolri untuk mengkaji rancangan undang-undang DPRK. Selain itu, beredar juga rancangan ketentuan UU Properti.
Ada pula yang mensyaratkan harta rampasan pelaku pidana minimal Rp 100 juta, penyitaan tidak berdasarkan hukum pidana, terdakwa yang didakwa dapat menyita hartanya, pengembalian harta berakhir setelah 5 tahun. (mab/tsa)