Jakarta, CNN Indonesia –
Kuntilanak sering digambarkan sebagai wanita mati yang penasaran dan “roh” pengembara untuk mencari keadilan.
Cerita tentang kuntilanak perempuan tidak hanya diceritakan secara lisan, tetapi juga ditampilkan dalam film dan cerita horor lainnya.
Lalu mengapa kuntilanak sering digambarkan sebagai perempuan? Apakah ada penjelasan ilmiahnya?
Para ahli mencatat bahwa kuntilanak sering digambarkan sebagai perempuan karena perannya sebagai mediator dunia dan roh di zaman animisme.
Timo Duille, antropolog Departemen Studi Asia Tenggara Universitas Bonn, Jerman, dalam penelitian bertajuk “Kisah Hantu Kuntilanak dan Modernitas Melayu di Pantianak, Indonesia” melaporkan bahwa kisah kuntilanak ada kaitannya dengan berdirinya Pantianak. Kota.
Timo menjelaskan, berdirinya kota Pantianak di Kalimantan Barat diawali dengan kedatangan seorang bangsawan Arab, Sherif Abdurrahim, pada tahun 1771.
Sheriff menutup pertemuan sungai-sungai besar di dekat Sungai Capuas, titik penting jalur perdagangan utama pengangkutan barang dari pedalaman pulau. Masalahnya delta itu adalah markas bajak laut.
Ia juga bertanggung jawab mengubah kota menjadi benteng melawan bajak laut (Hasanuddin 2014: 21-22).
Permasalahan lainnya adalah kondisi alam Pontianak yang berupa rawa dan hutan belantara.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika sebagian orang mengatakan bahwa nama “Pontianak” berasal dari kata Melayu “pon ti” atau pohon panjang (Asma 2013:xxxiii). Hal ini sesuai dengan penafsiran cerita kuntilanak; Pohon-pohon tinggi sering dikaitkan dengan roh pedesaan Kalimantan.
Begitu pula dalam Peninggalan Pantianak dan Beberapa Ciri-ciri Pantianak, nama Pantianak berasal dari roh Kuntilanak atau roh perempuan yang konon bersemayam di pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kesil, dan Sungai Landak.
“Buku ini bermula ketika rombongan Syarif Abdurrahim tiba di daerah tersebut. Mereka melihat banyak kebisingan dan suara-suara menakutkan. Suara tersebut diyakini berasal dari roh jahat, seperti hantu kuntilanak, dan membuat takut orang-orang yang berada di dalamnya.’
“Keesokan harinya mereka tidak melanjutkan perjalanan […]. Maka untuk mengusir hantu tersebut, Syarif Abdurrahim menembakkan senjata.
Jalur komunikasi
Feminis Nadia Karima Melati, dalam esainya yang berjudul Monsterisation of Women and Monotheism: A Longue Duree Perspective in the Journal of Women, menunjukkan bahwa feminisme yang mengerikan tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan kuno.
Dia mengutip antropolog Jeanette Marie Meg dan Alan Howard dalam Spirits in the History of Culture and Consciousness (1996).
“Bagi mereka, monoteisme tidak berupaya menghilangkan sepenuhnya gambaran dan hubungan antara manusia dan roh sebagaimana kepercayaan aslinya, namun mengubah peran roh dalam masyarakat menjadi setan/hantu,” tulis Nadia.
Dikatakannya, pada masa pra-agama, perempuan merupakan media komunikasi antara makhluk halus dan manusia.
“Dalam kepercayaan pra-monoteistik, roh hidup dan berkomunikasi satu sama lain. Roh berbeda dari dewa yang kuat. Roh secara umum mempunyai kualitas yang berbeda, seperti manusia pada umumnya: ada yang baik, ada yang buruk, atau ada yang netral.’
“Untuk itu diperlukan perantara dari dunia manusia untuk dapat berkomunikasi dengan dunia spiritual. Perantara tersebut adalah orang yang kuat, misalnya perempuan, karena itu ritual, atau yang mempunyai identitas penghubung, seperti a bisu (spiritual ), ed.) , lanjutnya.
Dia menambahkan bahwa konsep ketuhanan dalam agama monoteistik seperti Islam dan Kristen adalah konsep yang “memanipulasi manusia dan menghancurkan kepercayaan lokal tentang roh dan alam.”
“Monoteisme menyangkal keberadaan makhluk spiritual selain Tuhan. Monoteisme mengubah peran dewa dan dewi menjadi panteon, orang suci, atau manusia super. Sedangkan roh yang berstatus sama dengan manusia menjadi hantu/monster.’ menjelaskan.
Monoteisme juga mengubah makna ritual keagamaan yang menggunakan media komunikasi dengan roh sebagai kegiatan yang berkaitan dengan proses transendental menjadi “jalan”.
Akibatnya, peran perempuan yang semula sebagai mediator spiritual berubah menjadi dukun atau penyihir. Alasannya adalah perempuan “mampu berkomunikasi dan mengendalikan roh”.
“Perempuan dianggap lemah, mudah dirasuki roh jahat atau roh jahat yang menyamar sebagai perempuan,” kata Nadia.
(dmi)