JAKARTA, CNN Indonesia —
PT Sri Rejeki Isman (Sritex) menjadi sorotan setelah dinyatakan pailit. Bahkan, perusahaan tekstil ini sukses hingga menjadi produsen seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan tentara Jerman.
Lalu bagaimana kisah Sritex dari awal berdiri hingga bangkrut?
Sritex didirikan pada tahun 1966 oleh H.M Lukminto sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Dua tahun kemudian, percetakan pertama Sritex dibuka untuk produksi kain putih dan berwarna.
Pada tahun 1978, Sritex terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan. Kemudian pada tahun 1982, Sritex mendirikan pabrik tenun pertamanya.
Sepuluh tahun kemudian, Sritex memperluas pabriknya dengan empat lini produksi di bawah satu atap: pemintalan, penenunan, finishing, dan siap pakai.
Pada tahun 1994, Sritex menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan Angkatan Bersenjata Jerman.
Meskipun terjadi krisis mata uang pada tahun 1998, Sritex bertahan dan tumbuh dua kali lipat menjadi delapan kali lipat dibandingkan ketika pertama kali didirikan pada tahun 1992.
Sritex terus berkembang selama bertahun-tahun hingga resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan simbol saham SRIL. Namun SRIL telah disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai 18 Mei 2021.
Hal ini merupakan dampak dari tertundanya pembayaran pokok dan bunga Medium-Term Bond (MTN) Sritex Tahap 6 (USD-SRIL01X3MF) pada tahun 2018.
Semula penangguhan diberikan hingga 18 Mei 2023 yakni 24 bulan. Namun Sritex tidak pernah memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, BEI berulang kali mengeluarkan surat peringatan kepada emiten sektor TPT mengenai kemungkinan delisting.
Di dalamnya diatur ketentuan delisting apabila saham perusahaan tersebut dihentikan sementara (suspended) selama 24 bulan dan saham tersebut berada dalam keadaan yang mempunyai dampak negatif signifikan secara finansial atau hukum terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat.
Apalagi Sritex dikabarkan bangkrut. Namun pihak perusahaan membantah kabar tersebut.
CFO Sritex Welly Salam mengatakan penjualan memang turun, namun tidak sampai pada level yang membuat perusahaan bangkrut. Ia menjelaskan, situasi geopolitik perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina telah mengganggu rantai pasokan dan menurunkan ekspor karena perubahan prioritas masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat.
Selain itu, industri tekstil sedang melambat akibat membanjirnya produk tekstil di Tiongkok. Menurutnya, hal ini menyebabkan terjadinya dumping harga dan tersebarnya produk-produk murah ke negara-negara yang peraturan impornya longgar (seperti Indonesia).
Namun perusahaan tetap beroperasi dengan tetap menjaga kelangsungan usaha dengan memanfaatkan keuangan internal dan dukungan sponsorship,” jelasnya.
Namun perusahaan yang telah beroperasi selama 36 tahun itu dinyatakan bangkrut. Senin lalu (21 Oktober) Putusan Pengadilan Negeri (PN) Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Putusan tertulis dalam perkara Niaga Smg.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Provinsi Semarang, pemohon pailit Sritex menyatakan tergugat gagal memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon sesuai dengan keputusan persetujuan tertanggal 25 Januari 2022.
Daripada tinggal diam, Sritex mengajukan banding atas keputusan pailit tersebut. GM HRD Sritex Group Haryo Ngadiyono mengatakan operasional perusahaan tetap kokoh meski ada keputusan pailit.
“Hari ini kami mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” kata Detik Jateng di Menara Wijaya Sekretariat Daerah Sukoharjo, Jumat (25 Oktober).
(fby/pta)