Jakarta, CNN Indonesia –
Pemerintah membuka kemungkinan pembahasan dengan DPR terkait penghitungan ulang kendala parlemen saat menyusun RUU Omnibus Law Politik.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan pemerintah mendengarkan masukan semua pihak. Begitu pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang mengatur penghitungan ulang hambatan parlemen.
“Pemerintah membuka ruang debat publik. Kami ingin mendengar masukan dari teman-teman masyarakat sipil, perguruan tinggi, partai, dan penyelenggara pemilu,” kata Bima melalui pesan singkat kepada fun-eastern.com, Jumat (11/01).
“Ini (keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghitung ulang hambatan parlemen) bisa dibicarakan,” ujarnya.
Bima mengatakan, rencana penyusunan undang-undang yang komprehensif masih dalam tahap awal. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR belum merumuskan secara rinci poin-poin yang akan direvisi dalam Peraturan ini.
Namun, sudah ada gambaran keseluruhan yang diatur dalam Omnibus Policy Act. Salah satunya adalah penyatuan rezim penyelenggara pemilu dan pilkada.
“Kami belum mendapatkan artikelnya. Proyek besarnya masih kami pelajari dari aspek konkurensi, sistem pemilu, dan lain-lain,” kata Bima.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia mengusulkan pembuatan undang-undang politik yang komprehensif. Menurut dia, aturan tersebut disusun berdasarkan penilaian terhadap penyelenggaraan pemilu dan pilkada sebelumnya.
Omnibus Law Politik akan merevisi ketentuan UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU MD3, UU Pemerintahan Daerah, UU DPRD, UU Desa, dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
“Ternyata kami mendapat informasi bahwa Indonesia adalah negara yang overregulated. Undang-undangnya ada 43.000,” kata Doli, Rabu (30/10) di Gedung DPR Jakarta.
“Misalnya, kalau ada undang-undang yang komprehensif, prinsip-prinsipnya sampai ke teknisnya, seperti pemilu-pemilu sebelumnya, saya kira itu akan lebih baik,” imbuhnya.
Sementara itu, anggota parlemen telah menyerukan perubahan aturan ambang batas parlemen. Hal itu terungkap dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023.
Anggota parlemen mengatakan bahwa undang-undang tersebut belum menjelaskan bagaimana hambatan parlemen akan ditetapkan. Namun nilai tersebut terus meningkat hingga mencapai 4 persen.
“Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu… adalah konstitusional sepanjang masih berlaku untuk Pemilu DPR Tahun 2024, dan konstitusional bersyarat untuk Pemilu DPR Tahun 2029 dan Pemilu berikutnya. sah sepanjang ada perubahan,” kata Ketua Juri MK Suhartoyo, Kamis (29 Februari) di Gedung MK, Jakarta.
Dalam keputusan tersebut, MK memberikan sejumlah pedoman dalam reformulasi ambang batas parlemen. Tantangan parlemen yang baru harus dirancang untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.
Maka ambang batas tersebut harus tetap dalam rangka menjaga proporsionalitas sistem perwakilan proporsional, khususnya untuk menghindari banyaknya suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR RI.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai perlu dilakukan perubahan untuk mencapai penyederhanaan partai politik. Keempat, perubahan selesai sebelum pemilu 2029.
Kelima, perubahan berdampak pada seluruh kelompok yang berkepentingan menyelenggarakan pemilu melalui penerapan prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna.
“Perubahan tersebut berdampak pada seluruh kelompok yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna, termasuk masuknya partai politik peserta pemilu yang tidak mempunyai wakil di DPR,” jelas anggota DPR.
(dhf/tsa)