Jakarta, CNN Indonesia —
Cara terbaik menikmati Venom : The Last Dance adalah dengan meninggalkan ekspektasi dan keraguan sebelum masuk bioskop. Oleh karena itu, banyak hal yang akan terasa aneh dan sulit diterima jika mengharapkan performa bintang lima.
Venom: The Last Dance gagal menjadi film terakhir dalam trilogi. Banyak aspek dalam rilis ini yang terasa di luar kendali, termasuk plot cerita.
Film ketiga melanjutkan perjalanan Eddie Brock (Tom Hardy) bersama Venom. Kelly Marcel, sutradara dan penulis skenario, membawa film ini ke babak baru dengan memasukkan banyak referensi dari rilis sebelumnya.
Sebagai penutup dari trilogi, ini juga menekankan pentingnya sebuah cerita berdasarkan perjalanan terakhir Eddie dan Venom, mirip dengan tituler ‘The Last Dance’.
Pendekatan ini jelas membuat penonton melihat dan memahami kisah Venom (2018) dan Venom: Let There Be Carnage (2021). Kedua film ini ibarat ‘panduan’ yang perlu Anda ketahui jika ingin menyerap emosi film ketiganya.
Dinamika hubungan manusia dengan dark symbiote menarik dan seru untuk disimak. Perilaku Venom yang tanpa hambatan dan pertukaran kicauannya dengan Eddie tetap menjadi alat yang ampuh untuk dinikmati penonton.
Chemistry ini diperkuat dengan dilema hidup dan mati yang mereka hadapi. Taruhannya menjadi sumbu yang menyulut adegan emosional, terutama di akhir cerita.
Namun penulisan plot Venom: The Last Dance terhambat oleh beberapa kelemahan dalam menghadapi karakter di sekitar Eddie.
Film ini memperkenalkan banyak karakter baru, seperti Rex Strickland (Chiwetel Ejiofor) dan Dr. Teddy Payne (Kuil Juno) bekerja di pusat penelitian rahasia bernama Imperium.
Kehadiran mereka penting dalam kisah The Last Dance. Namun Kelly Marcel terlalu cepat mengabaikan latar belakang masing-masing karakter serta alasan dan tujuan mencapainya.
Kurangnya latar belakang karakter pendukung membuat saya sulit memahami situasi mereka. Hal itu pun membuat saya cuek saat mereka muncul, lalu kembali fokus saat cerita kembali ke kemunculan Eddie dan Venom.
Situasi yang terlihat sangat kekanak-kanakan juga terlihat dari kehadiran pelaku. Seorang superman sekaliber Knull (Andy Serkis) seolah menebar teror bagi Eddie dan Venom, bahkan kemanusiaan.
Kehadiran Knull di Venom: The Last Dance masih menjadi pertunjukan singkat para pembawa pesan untuk menemukan Venom berkeliaran di Bumi.
Tapi, bagi saya, bagian kecil ini tidak boleh membatasi penulis untuk menampilkan gambaran krisis yang dihadapi Eddie dan Venom.
Kelly Marcel sepertinya enggan menggunakan metode ‘tunjukkan, jangan beri tahu’. Alhasil, kengerian tersebut tidak meninggalkan banyak kesan karena hanya muncul dalam deskripsi verbal.
Selain itu, Anda juga bisa merasa tergesa-gesa melihat cara Venom: The Last Dance merangkai cerita. Tempo dan intensitas film ini terasa sangat tidak konsisten antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Ketidakkonsistenan ini menyebabkan beberapa adegan terasa ‘gelisah’ saat berpindah-pindah meski ceritanya tidak diceritakan.
Namun, pada akhirnya semua kekurangan tersebut sepertinya tidak perlu dipertimbangkan jika Anda ingin mencari hiburan atau ingin mengetahui akhir dari trilogi Venom.
Perjalanan 1 jam 49 menit ini cukup seru dan penuh tawa sehingga membuat harga tiketnya sepadan.
Venom: The Last Dance juga tidak memiliki masalah besar dari segi teknis. Presentasi visual dan sentuhan VFX dihadirkan dengan baik.
Penonton juga disuguhi adegan pertarungan antara Venom dan sang symbiote melawan entitas yang dikirim oleh Knull yang berpuncak pada Venom: The Last Dance.
Ditambah lagi, saya setuju dengan cara Kelly Marcel mengakhiri perjalanan Eddie dan Venom. Kesimpulan ceritanya akan mampu merangkum perjalanan Eddie dan Venom serta trilogi yang berlangsung selama enam tahun.
Trilogi ini jelas jauh dari sempurna. Namun, sebagai acara popcorn, Venom: The Last Dance merupakan tambahan yang bagus untuk dua film sebelumnya.
(Kris)