Jakarta, CNN Indonesia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengindikasikan fenomena iklim La Niña telah terjadi dan berdampak di Indonesia. Baca penjelasannya.
Direktur BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan hingga akhir Oktober, pemantauan suhu permukaan laut di Pasifik menunjukkan tren pendinginan terus menerus, dan indeks El Niño Southern Oscillation (ENSO) melampaui ambang batas La Niña atau -0,59.
“Ini menandakan gangguan iklim La Niña yang lemah sudah mulai aktif. Pada saat yang sama, pemantauan IOD [Indian Ocean Dipole] di Samudera Hindia menunjukkan kondisi IOD negatif dengan indeks bulanan -0,74,” jelas Dwikorita dalam Climate Outlook Siaran pers tahun 2025. konferensi yang disiarkan secara daring di kanal YouTube BMKG pada Senin (11/4).
Artinya, suhu permukaan laut baik di Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia sudah mendingin di bawah suhu rata-rata normal, lanjutnya.
Sementara itu, menurut Dwikorita, perairan Indonesia secara umum mengalami suhu permukaan yang lebih hangat dari biasanya, dengan nilai anomali rata-rata bulan Oktober sebesar +0,69 derajat Celcius.
Apalagi, menurut Dwikorita, kondisi La Niña lemah ini akan terus berlanjut setidaknya hingga Maret 2025.
Kondisi La Niña lemah ini diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2025, umumnya dimulai pada bulan November, dimulai pada bulan November dan diperkirakan akan berlanjut hingga Januari, Februari, dan Maret, ujarnya.
“ENSO kembali memasuki fase netral ENSO, dan kondisi netral akan berlangsung hingga akhir tahun 2025. Sementara itu, kondisi IOD berada di bawah rata-rata normal, diperkirakan akan kembali netral dan tetap netral hingga akhir tahun 2025,” dia menjelaskan.
Dampak La Nina
Sejumlah bencana bisa terjadi saat fenomena La Niña. Secara umum bencana-bencana tersebut erat kaitannya dengan hidrometeorologi.
Banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, angin puting beliung, bahkan badai tropis dapat menimbulkan bencana akibat meningkatnya curah hujan saat La Niña.
Ardhasena Sopaheluwakan, Deputi Klimatologi BMKG, mengatakan semua pihak harus mengantisipasi dampak lemah La Niña pada awal tahun 2025. Menurut dia, kemungkinan curah hujan mencapai 20 persen di atas normal dan menyebabkan frekuensi bencana hidrometeorologi meningkat. .
“Saat ini kita sedang memasuki masa La Niña yang kami perkirakan akan berakhir pada akhir triwulan I tahun 2025, namun setelah itu secara umum tidak akan terjadi gangguan iklim yang signifikan di wilayah Indonesia pada tahun 2025,” kata Ardhasena.
Menurut BMKG, untuk mencegah kemungkinan dampak La Niña lemah, perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya curah hujan hingga 20 persen di atas normal pada awal tahun yang dapat menyebabkan peningkatan curah hujan. frekuensi bencana hidrometeorologi.
Pada tahun-tahun sebelumnya tercatat ribuan bencana terjadi di Indonesia, lebih dari 95 persennya merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Sementara itu, risiko kekeringan dan kebakaran hutan pada musim kemarau tetap perlu diperhitungkan meskipun curah hujan pada Juli-September 2025 kemungkinan berada di atas normal.
Pemantauan ini terus diperlukan karena catatan bencana menunjukkan kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi setiap tahunnya, kata BMKG.
Tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk memprediksi terjadinya peningkatan suhu udara pada Mei-Juli 2025. Daerah yang perlu diwaspadai antara lain wilayah Sumsel, Jawa, NTB, dan NTT, lanjutnya.
(tim/dmi)