Jakarta, CNN Indonesia –
Pakar kesehatan di seluruh dunia menyuarakan keprihatinan mengenai risiko kesehatan akibat paparan bisphenol A (BPA) dalam wadah kemasan makanan. Beberapa penelitian internasional menunjukkan bahwa paparan BPA dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak kesehatan yang serius.
Pengurus Besar Persatuan Dokter Indonesia (PB IDI) Sekretaris Jenderal Dr. Ulul Albab, SpOG, menyerukan diakhirinya upaya menjadikan risiko kesehatan BPA hanya menjadi persoalan persaingan usaha.
“Kita tidak bisa memungkiri apakah itu persaingan bisnis atau bukan. Kepedulian kami baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tak terkecuali Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebagai lembaga pemerintah, akademisi dan praktisi, kami peduli untuk melindungi masyarakat “Indonesia adalah yang terpenting dari semua alasan lainnya, ujar Dr Ulul, Selasa (5/11).
Tidak hanya itu saja, Dr. Ulul yang juga dokter spesialis kebidanan dan kandungan ini menepis anggapan yang mengaitkan BPA dengan persoalan persaingan usaha, lalu membandingkannya dengan ledakan kasus Covid di Indonesia.
Dulu, ketika ada Covid dan banyak orang meninggal, masalah Covid berubah menjadi masalah yang berbeda, ujarnya.
Ditegaskannya, IDI merupakan badan profesional dan apa yang dilakukan BPOM (pengaturan label bahaya BPA pada galon kemasan polikarbonat) merupakan hal yang positif dan patut didukung.
“Kalau kita bilang BPA itu bermasalah, itu faktanya. Semua negara bilang begitu, bukan hanya Indonesia,” kata Dr. Menurut Ululo, IDI sebagai lembaga profesi dokter adalah penentu kebenaran.
“Setuju atau tidaknya itu hal yang sekunder, tapi memang harus berani menyampaikan bahwa permasalahan yang dialami masyarakat ada permasalahannya dan perlu disuarakan,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, IDI sudah lama membahas persoalan BPA dan mendukung peraturan pelabelan yang dikeluarkan BPOM RI.
“Pada 11 Agustus 2022, saya mengeluarkan pernyataan bahwa kami mendukung pelabelan BPA pada semua kemasan makanan. Kita sering khawatir dengan apa yang kita makan. Tapi kita jarang khawatir tentang bagaimana makanan dibungkus, dikemas, atau disimpan. Jadi bukan hanya kita yang membicarakannya. Masalah yang berhubungan dengan air, tapi juga soal makanan,” katanya.
IDI berdedikasi untuk memberikan edukasi berbasis sains kepada masyarakat tentang BPA.
“Karena BPA merupakan pengganggu hormon, maka bisa menyerang siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan laki-laki dan perempuan pun bisa mengalami infertilitas (mandul atau tidak subur),” ujarnya.
“Bahaya BPA sebenarnya sudah banyak diatur di BPOM,” kata dr. Ulul, hal ini juga terlihat dari banyaknya peraturan BPOM yang memperingatkan masyarakat tentang paket yang ada peringatan BPA.
Meski tidak melarang BPA, setidaknya arahan terbaru BPOM ini merupakan langkah awal yang baik, begitu pula dengan langkah kedua di tahun 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan no. 31 tentang Pelabelan Produk Pangan Olahan Tahun 2024. amandemen no. peraturan.
“Pasti ada plus minusnya, dan itu lumrah,” ujarnya.
“Tugas kita memberikan informasi yang sebenarnya. Kalau berbahaya, katakan berbahaya tanpa ditutup-tutupi,” kata dr. Uulul.
Dalam forum yang sama, pakar polimer Universitas Indonesia Prof. Dr. Mochamad Chalid, SSi, MSc.Eng mengatakan, proses pendistribusian dan cara penanganan kemasan polikarbonat berdampak signifikan terhadap cemaran senyawa BPA dari kemasan polikarbonat ke dalam produk air minum.
“Ibarat polimer itu ibarat untaian kalung. BPA itu salah satu penghubung dalam rantai kalung. Kalau dipakai kemungkinan besar talinya putus dan menimbulkan masalah,” jelas Khalid.
Khalid mencontohkan, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko BPA pada kemasan polikarbonat tercuci atau terurai menjadi air minum.
Misalnya paparan sinar matahari saat proses pendistribusian, suhu tinggi, dan prosedur pencucian terus menerus yang tidak memadai yang diikuti dengan penggunaan kembali.
Hal ini sesuai dengan hasil survei BPOM terhadap fasilitas air minum polikarbonat tahun 2021-2022 yang menunjukkan tingkat migrasi BPA dalam air minum meningkat lebih dari 0,6 ppm (standar BPOM) menjadi 4,58 persen.
Begitu pula dengan hasil uji migrasi BPA yang berada pada ambang batas 0,05-0,6 ppm dan terus meningkat hingga 41,56%. (internal / tinggi)