Jakarta, CNN Indonesia —
Saya tidak tahu apa yang dipikirkan Jacques Audiard ketika dia menulis dan mengerjakan Emilia Perez. Dia secara ajaib dapat menggabungkan musikal, drama, aksi, dan kejahatan menjadi satu film yang kohesif.
Bagi saya, Audiard bahkan membuat film ini melewati batasan stereotip yang biasa saya lihat di layar lebar. Salah satunya adalah Emilia Perez, sebuah film Prancis berbahasa Spanyol, namun berlatar belakang lokasi dan budaya Meksiko.
Anehnya, dengan segala kebingunan tersebut, Emilia Perez menjadi film yang sangat mudah untuk diikuti, baik dari segi cerita maupun dari segi dramatisasi film, aksi, hingga koreografi dan musik latar.
Salah satu bagian yang menurut saya menjadi kunci film ini adalah bagaimana Audiard memadukan musik dan koreografinya serta memadukannya ke dalam cerita. Musik dan koreografinya tidak hanya harmonis, tetapi juga tepat waktu dan menghibur.
Audiard juga bermain dengan jenis musik yang dimainkan. Bisa beralih dari sajian musik yang seolah-olah ada di benak para tokoh, menjadi dialog antar tokoh.
Dengan begitu, penonton tidak akan bosan menyaksikan pertunjukan musik di film ini. Tidak selalu semua ekspresi asli disampaikan ala Elsa di Frozen, namun tidak harus diiringi cameo ringan seperti wajah bahagia.
Tarian dalam film ini bisa berkisar dari gaya jalanan yang keras dengan banyak akting cemerlang dengan wajah serius, hingga sekadar gerakan marching dan cameo paduan suara yang sederhana.
Jadi saya salut kepada Camille yang mengarahkan musiknya, Clement Ducol yang bertanggung jawab atas desain suara, dan tim koreografer yang mengkonsep semua pertunjukan musik ini.
Apalagi yang lebih membuat saya terkesan adalah Audiard tidak kehilangan apa pun dalam mengarahkan cerita Emilia Perez. Saking gemerlapnya aksi musikalnya, ia tak sampai melupakan poin penting film ini, yakni kemanusiaan.
Emilia Perez dengan sempurna menggambarkan transformasi dari level personal seseorang ke level sosial. Audiard dengan jelas menunjukkan dan menekankan bahwa kesempatan kedua akan selalu ada bagi semua orang, termasuk mafia kartel.
Audiard bahkan tak perlu memberikan overdramatisasi ala telenovela untuk menguras emosi penontonnya.
Melihat Perez berjuang melepaskan kehidupan lamanya untuk jujur dengan jati dirinya, kemudian menemukan rasa cinta yang damai, dan tindakan komunitas yang menghargai segala bantuannya sudah cukup membuat ceruk untuk disentuh.
Belum lagi penampilan apik para pemain utamanya, Carla Sofia Gascon, Selena Gomez, Zoë Saldaña, dan Adriana Paz. Mereka memainkan perannya dengan sangat baik tanpa ada yang lebih unggul.
Jadi saya paham betul kenapa juri Festival Film Cannes memberikan penghargaan aktris terbaik secara bersamaan kepada keempatnya.
Meski begitu, harus diakui bahwa menonton film berdurasi 2 jam 12 menit ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi, terutama saat sudah memasuki pertengahan cerita. Tapi percayalah, setelah itu film ini sangat seru.
Saya juga ingin mengapresiasi bagaimana Audiard menjaga nilai-nilai budaya dan fakta sosial masyarakat Meksiko yang melatarbelakangi film ini. Fakta pedih tragedi konflik horizontal yang masih berlangsung menurut saya menjadi modal yang cukup bagi film ini untuk bisa melaju di jajaran pesaing Oscar.
Namun Emilia Perez menawarkan lebih, yakni budaya tradisional masyarakat Meksiko yang menurut saya merupakan akhir yang paling sempurna untuk menggambarkan transformasi tokoh utama film ini.
Endingnya sangat sederhana, bahkan tidak menyertakan pemain utama, hanya cameo dan orang lokal. Mereka bernyanyi sedih dari hati, diiringi alat musik sederhana yang biasa mereka gunakan.
Adegan ini seolah menggambarkan pesan Audiard bahwa siapa pun bisa berbuat baik dan membawa kebaikan bagi orang lain, tidak peduli seberapa buruk masa lalunya. Kebaikan sederhana bisa berdampak besar bagi orang lain.
(akhir/akhir)