Jakarta, CNN Indonesia —
Para ahli mengatakan masa depan umat manusia semakin tidak pasti, dengan penelitian baru yang menunjukkan kemungkinan kepunahan akibat perubahan iklim ekstrem.
Sebuah penelitian terbaru yang dipimpin oleh Drs. Alexander Farnsworth, peneliti senior di Universitas Bristol, mengungkapkan bahwa suhu ekstrem dapat memicu peristiwa kepunahan massal yang mengakhiri dominasi manusia dan mamalia di Bumi.
Fenomena ini diperkirakan akan terjadi pada masa terbentuknya superkontinen bernama Pangea Ultima yang akan mengubah iklim bumi secara signifikan.
Para ilmuwan menggunakan model iklim superkomputer untuk memprediksi bagaimana pembentukan benua super ini menciptakan lingkungan yang terlalu panas dan kering untuk kehidupan.
“Benua super yang masih baru ini sebagian besar disebabkan oleh sifat kontinentalnya, panas matahari, dan peningkatan karbon dioksida di atmosfer, yang menciptakan dampak tiga kali lipat berupa peningkatan suhu di sebagian besar planet ini,” kata Farnsworth dalam pernyataannya kepada Bumi pada hari Selasa. (5/11).
Ada tiga alasan kenaikan suhu secara tiba-tiba. Pertama, efek kontinental terjadi ketika sebagian besar daratan tersingkir dari pengaruh pendinginan lautan.
Kedua, seiring berjalannya waktu, matahari bersinar lebih terang dan melepaskan lebih banyak energi yang menghangatkan bumi.
Ketiga, peningkatan aktivitas gunung berapi akibat pergerakan lempeng melepaskan lebih banyak karbon dioksida (CO2) ke atmosfer, memerangkap panas dan meningkatkan suhu bumi.
Kombinasi ini menghasilkan suhu global antara 40 dan 50 derajat Celcius. Manusia dan mamalia lain tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi seperti itu karena mereka tidak dapat menurunkan suhu tubuh secara efektif di lingkungan yang panas dan lembab.
“Manusia, seperti banyak spesies lainnya, tidak dapat menghasilkan panas ini melalui keringat yang mendinginkan tubuh, sehingga kita akan mati,” tambah Farnsworth.
Mega el nino
Sekitar 252 juta tahun yang lalu, Bumi mengalami kepunahan massal terbesar dalam sejarah, yang dikenal dengan peristiwa Permian-Triassic. Saat itu, perubahan iklim yang parah memusnahkan 90% spesies bumi, termasuk serangga.
Para ilmuwan sebelumnya mengaitkan kepunahan ini dengan gas rumah kaca yang dilepaskan oleh jaringan vulkanik Siberia.
Dalam tulisannya di The Conversation, Farnsworth mengungkapkan peristiwa Super El Niño juga berkontribusi terhadap memburuknya cuaca yang menyebabkan kekacauan iklim global.
“Studi baru kami menunjukkan bahwa pola cuaca El Niño skala besar di lautan utama dunia memperburuk gangguan iklim dan mendorong kepunahan yang meluas di seluruh dunia,” tulisnya.
Farnsworth dan timnya yakin peristiwa El Niño akan menjadi lebih beragam dan kuat seiring dengan perubahan iklim. Periode Permian-Trias menghasilkan El Niño yang lebih kuat dari biasanya, yang meningkatkan suhu rata-rata global sebesar 4 derajat Celsius.
Hal ini jauh lebih besar dibandingkan pemanasan antropogenik dalam beberapa abad terakhir.
Dampak ini menyebabkan suhu siang hari di daratan mencapai 60 derajat Celcius, sehingga membuat banyak tempat menjadi terlalu panas untuk ditinggali.
Meskipun peristiwa seperti Permian-Trias diperkirakan tidak akan terulang dalam waktu dekat, peristiwa tersebut menggambarkan potensi bencana bagi umat manusia jika kita gagal mengendalikan perubahan iklim.
“Saat ini tidak ada yang memperkirakan kepunahan massal sebesar 252 juta tahun yang lalu, namun peristiwa ini memberikan gambaran menakutkan tentang apa yang bisa terjadi ketika El Niño tidak terkendali. “Memang ada,” katanya. (wnu/dmi)