Jakarta, Indonesia —
Amerika Serikat sepertinya tidak berbuat apa-apa terhadap eskalasi pertempuran di Timur Tengah dengan serangan udara militer Israel dan bahkan invasi darat ke Lebanon.
Israel melancarkan serangan udara ke markas Hizbullah di Beirut selatan, Lebanon pada Rabu (23/10) malam. Serangan ini terjadi ketika agresi Israel terhadap Lebanon dimulai pada bulan pertama.
Enam bangunan tempat tinggal rata dengan tanah akibat setidaknya 17 serangan udara Israel pada Rabu malam. Serangan ini menandai salah satu malam paling brutal di pinggiran selatan kota Beirut sejak serangan Israel di Lebanon terjadi pada tanggal 23 September.
Hingga Rabu (23/10), menurut data Dewan Menteri Lebanon untuk Kejadian Buruk dan Manajemen Risiko, serangan Israel terhadap Lebanon menewaskan 2.350 orang dan 11.803 lainnya luka-luka.
Selain itu, Amerika Serikat masih belum berbuat banyak untuk menghentikan Israel meningkatkan agresinya di Lebanon. Sejauh ini, Washington hanya mendesak sekutu terdekatnya untuk mengurangi penyebaran virus di negaranya. Apa ini?
Sebelum invasi darat ini menjadi “terbatas”, Amerika Serikat sebenarnya mendesak Israel untuk menahan diri dari langkah tersebut.
Dalam pertemuan PBB baru-baru ini di New York, Amerika Serikat juga meminta Israel singgah selama 20 hari di Lebanon.
Presiden AS Joe Biden juga baru-baru ini memperingatkan bahwa perang di Timur Tengah harus dihindari. Ia mengatakan, kini adalah waktu yang tepat untuk menerapkan gencatan senjata di Lebanon.
“Biden berada di negara bagian Delaware,” ujarnya seperti dikutip Al Jazeera.
Informasi intelijen tentang negara kita yang belum menjelaskan invasi darat Israel di Lebanon sudah mulai bermunculan. Salah satunya adalah Amerika akan segera mengadakan pemilihan umum pada tanggal 5 November.
Ruang gerak Biden dalam menangani konflik di Timur Tengah tentu terbatas karena posisinya akan segera turun.
Fokus kini tertuju pada dua calon presiden AS, yakni Kamala Harris dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik.
Namun berdasarkan laporan Al Jazeera, baik Harris maupun Trump sama sekali tidak menyinggung konflik di Timur Tengah selama kampanyenya baru-baru ini.
Sikap AS yang diam-diam ini tidak mengherankan mengingat perlakuan Israel terhadap negara adidaya ini.
Israel seringkali memutuskan untuk bertindak sendiri dan hanya ingin berkonsultasi dengan AS ketika operasi tersebut diluncurkan. Serangan pada Jumat (27/9) di Beirut, Lebanon yang menewaskan pemimpin kelompok milisi Hizbullah Hassan Nasrallah, adalah salah satu contohnya.
AS tidak diberitahu mengenai operasi tersebut, meskipun serangan tersebut tentu akan berdampak kuat pada meluasnya pertempuran di Timur Tengah.
Israel tidak memberi tahu AS tentang rencana tersebut sebelumnya, tentu saja Israel tidak memberi tahu Washington.
Sikap Israel sangat berbahaya karena serangan mereka yang menewaskan Nasrallah berpotensi menyeret AS semakin terlibat dalam konflik. Pasalnya, Israel sangat curiga menggunakan bom seberat 2.000 pon buatan AS, menurut analisis CNN.
Jika ditelaah lebih jauh, sikap sewenang-wenang Israel mulai sering terjadi setelah hubungan Biden dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjadi kurang harmonis.
Belakangan ini, hubungan Biden dan Netanyahu memanas karena keduanya kerap berselisih paham. Netanyahu kerap dikabarkan bertengkar dengan Biden dan bahkan terang-terangan mengabaikan saran Biden.
Salah satu contoh terkini adalah ketika Netanyahu menolak proposal gencatan senjata Israel-Hizbullah yang diajukan AS di PBB di New York.
Menurut analis militer CN, Cedric Leighton, pembicaraan antara pejabat Israel dan AS sebelum invasi darat Israel ke Lebanon selatan bersifat “ruang-waktu, terutama di tingkat atas”.
Menurutnya, Israel sengaja tidak membeberkan rincian operasinya terhadap Lebanon karena situasi saat itu. (Blq/baca)