Jakarta, CNN Indonesia —
Pernyataan bersama Indonesia dan China menuai kritik setelah salah satu poinnya berkaitan erat dengan sengketa Laut Cina Selatan (LCS).
Poin kesembilan dalam pernyataan yang disampaikan pada Sabtu (9/11) itu adalah soal kerja sama maritim antara Republik Indonesia (RI) dan Tiongkok.
Pada titik ini, Indonesia dan Tiongkok menekankan kerja sama maritim sebagai bagian penting dari kerja sama strategis komprehensif kedua negara.
RI dan Tiongkok berdasarkan deklarasi tersebut akan secara aktif menjajaki dan melaksanakan lebih banyak proyek kerja sama maritim, menciptakan perkembangan yang lebih positif, bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di laut, meningkatkan sistem pengelolaan maritim, menjaga laut tetap bersih dan indah, serta mencapai kesejahteraan laut.
Kedua belah pihak juga dikatakan telah mencapai pemahaman penting mengenai “pembangunan bersama di wilayah yang mereka klaim” dan sepakat untuk membentuk Komite Pengarah Gabungan Antar Pemerintah untuk mempelajari dan mengembangkan kerja sama berdasarkan prinsip saling menghormati. mengontak kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme dan pembangunan konsensus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing negara.
Hal ini menuai kritik, salah satunya dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.
Hikmahanto mencatat, frasa gabungan klaim dalam pernyataan tersebut patut dipertanyakan apakah terkait dengan sepuluh (atau sembilan) klaim garis putus-putus Tiongkok terkait klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.
Hikmahanto, menurutnya, perlu memperjelas pernyataan bersama tersebut karena kalimat-kalimat di dalamnya dapat dipahami sebagai penerimaan Indonesia terhadap klaim sepihak China terkait sepuluh (atau sembilan) poin tersebut.
Sembilan garis putus-putus Tiongkok tidak diakui dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia dan Tiongkok sama-sama merupakan pihak dalam UNCLOS.
Selain itu, Pengadilan Arbitrase Den Haag juga memutuskan pada tahun 2016 bahwa klaim sepihak Tiongkok atas sembilan garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum. Keputusan tersebut menyusul keberatan yang diajukan Filipina pada tahun 2013 terkait aktivitas Tiongkok di Laut Cina Selatan yang mengganggu wilayahnya, yaitu penangkapan ikan dan pembangunan pulau buatan serta perusakan terumbu karang.
Hikmahanto dalam pernyataannya mengatakan: “Pengakuan sepihak atas klaim Garis Sepuluh Titik jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang dilakukan Indonesia, dimana Indonesia belum pernah melakukan perundingan maritim dengan Tiongkok.”
Sebab, tidak ada Sepuluh Garis Putus-putus yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok di peta Indonesia dan dalam Hukum Teritorial Negara. Pemerintah terus-menerus enggan melakukan negosiasi apalagi mengutarakan pendapatnya tentang pembangunan bersama dengan Tiongkok, lanjutnya.
Apakah pernyataan bersama Indonesia-Tiongkok telah mengubah posisi Indonesia dalam hal ini?
Baca di halaman berikutnya >>>