BAKU, CNN Indonesia —
Organisasi nirlaba lingkungan hidup Greenpeace menilai ada sesuatu yang memicu perdebatan transisi energi di negara yang berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Direktur Eksekutif Greenpeace Indonesia Leo Simanjuntak mengatakan, memasukkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ke dalam rencana nasional penambahan energi baru sebesar 100GW merupakan bentuk dukungan. Ia meyakini nuklir bukanlah salah satu bentuk energi terbarukan, meski tidak berasal dari bahan fosil.
Nuklir sengaja dimasukkan dalam Rencana Strategis Transisi Energi Nasional dalam konteks masyarakat sudah jenuh menunggu hasil nyata dari program EBT pemerintah.
“Ini adalah gelombang pro-nuklir, bukan? Alih-alih benar-benar melakukan perubahan mendasar, alih-alih melakukan transisi energi dengan membangun kapasitas energi terbarukan, mereka malah bergerak ke arah itu, mengeksploitasi ketidaksabaran masyarakat dalam melihat dampak iklim.” Krisis ini harus diakhiri,” kata Leo kepada CNN Indonesia, Senin (18 November).
Leo meyakini pencapaian pemerintah dalam bidang energi terbarukan berkelanjutan yang hanya sebesar 11-13% akan menjadi bahan kajian. Menurutnya, pemerintah Indonesia merasa tidak berdaya untuk mengatur tujuan kebijakannya.
Greenpeace meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kisah sukses negara-negara tetangga yang mampu meningkatkan energi terbarukan tambahan tanpa memaksakan alternatif nuklir.
“Kalau investasi stagnan, dan kita sepakat, berarti model bisnis harus berubah. Apakah insentif dan subsidi untuk EBT cukup? Semua harus dimulai dari kemauan politik – dari pemerintahan sebelumnya, inilah yang kurang. adalah,” tambah Leo.
Pemerintah Indonesia mengumumkan akan mengupayakan alternatif nuklir sebagai sumber energi pada September lalu setelah pertemuan dengan Badan Energi Atom Dunia, IAEA.
Pada hari pertama COP29, Utusan Khusus Presiden untuk Masalah Iklim Hashim Jojohdadikusumo mengatakan pemerintah sedang mencari lokasi yang aman untuk pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas 1 hingga 2 gigawatt.
Sementara itu, menurut Direktur EBTKE ESDM, prioritas pemerintah adalah membangun reaktor berkapasitas kecil (small modular reaktor) di wilayah timur Indonesia yang kekurangan pasokan listrik. Belum diketahui apakah reaktor tersebut akan dibangun di darat atau terapung di laut.
Laporan ini ditulis oleh Devi Safitri, yang meliput COP29 di Baku, Azerbaijan, dengan beasiswa dari EJN dan Stanley Center for Peace and Security.
(dsf/dmi)