Jakarta, CNN Indonesia —
Dua hari sebelum berakhirnya COP29, belum ada tanda-tanda bahwa delegasi telah menyetujui isi pembicaraan. Dua topik paling menonjol, yaitu target anggaran iklim baru (NCQG) dan peraturan pasar karbon global, masih menjadi bahan diskusi di meja perundingan.
Tiga blok negara peserta yang mewakili negara-negara berkembang serta Tiongkok, negara-negara Afrika dan negara-negara kurang berkembang menyatakan kekecewaan mereka karena negara-negara kaya dianggap sengaja menghalangi pembicaraan dengan tidak menanggapi kemajuan perundingan.
Permintaan pendanaan sebesar 1,3 triliun dolar AS yang diajukan kelompok negara ini diabaikan sama sekali.
“Belum ada konfirmasi mengenai angka-angka tersebut. Tidak ada tanggapan, tidak ada pergerakan. Ini sangat sulit dan mengecewakan,” kritik Ali Mohammed, diplomat iklim Kenya yang mewakili blok negara-negara Afrika.
“(Meskipun prosesnya lambat) kita tidak boleh membiarkan situasi ini digunakan sebagai cara bagi negara-negara maju untuk melepaskan diri dari kewajiban mereka,” kata Diego Pacheco, seorang negosiator Bolivia yang merupakan juru bicara blok negara-negara paling maju.
Negara-negara berkembang memandangnya sebagai tanggung jawab negara-negara maju untuk menyediakan anggaran perubahan iklim untuk proyek-proyek mendesak di negara-negara berkembang. Tanggung jawab ini muncul karena negara-negara maju dianggap sebagai penghasil emisi yang merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yang kemudian menyebabkan perubahan iklim.
Kurangi perbedaan
Lambatnya dan parahnya krisis keuangan ini sudah diprediksi sejak awal. Blok negara-negara maju menolak beban pendanaan iklim karena beberapa alasan.
Misalnya, proyek pembangkitan listrik dari energi surya telah diusulkan oleh beberapa negara. Proyek serupa dianggap telah memenuhi kriteria industri dan bisnis, sehingga tidak memenuhi syarat untuk dianggap sebagai proyek berbasis hibah.
Sebaliknya jika diberikan dalam bentuk pinjaman komersial dengan bunga standar, negara berkembang akan kesulitan dalam membayarnya kembali.
“Kami ingin menghindari utang digolongkan sebagai dana iklim. Permintaan kami adalah dukungan yang tidak membebani stabilitas fiskal negara anggota. Bunga dan dividen tidak dikenakan pajak. Ya, Bangladesh jelas tidak mampu menanggungnya,” kata Syeda Rizwana Hasan. Ketua Delegasi Bangladesh kepada jurnalis di bidang COP29.
Meski demikian, Rizwana juga mengatakan masih terlalu dini untuk mengatakan pembicaraan tersebut akan memenuhi tenggat waktu. Menurutnya, kedua belah pihak, baik negara maju maupun negara berkembang, saat ini berupaya memperkecil kesenjangan tersebut.
Penutupan COP29 dijadwalkan pada Jumat (22/11), namun konferensi bisa saja diperpanjang hingga waktu tersebut.
Laporan ini ditulis oleh Dewi Safitri yang meliput COP29 dari Baku, Azerbaijan bekerja sama dengan EJN dan Stanley Center for Peace and Security. (fea/fea)