Jakarta, CNN Indonesia —
Puluhan ribu warga Selandia Baru berdemonstrasi di depan Parlemen pada Selasa (19/11) memprotes rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap merendahkan hak suku Maori.
Sekitar 42.000 orang memadati kompleks parlemen untuk mendemonstrasikan RUU Prinsip-Prinsip Perjanjian, sebuah kebijakan yang diperkenalkan oleh Partai Libertarian ACT Selandia Baru awal bulan ini.
Banyak orang terlihat berbaris dengan mengenakan pakaian tradisional Maori dan membawa senjata tradisional suku. Banyak orang lainnya yang mengenakan kaus bertuliskan Toitu te Tiriti (Hormati Perjanjian) dan ratusan orang membawa bendera Maori.
“Saya pikir penting bagi kita untuk mempertahankan nilai-nilai, subjek, sebagai suku Maori dan sebagai budaya kita. Sangat penting bagi kita untuk memiliki identitas budaya,” kata Honah Hadfield, seorang demonstran dari Wellington.
Selama pawai, pemimpin suku Ngati Toa Helmut Modlick memberikan pidato yang mengatakan bahwa tidak ada yang dapat memecah belah suku Maori.
“Bagi mereka yang ingin memecah belah kami, vanav kami, sudah terlambat. Kami adalah satu,” kata Modlik yang disambut sorak-sorai penonton.
Ribuan warga Selandia Baru memprotes RUU Prinsip-Prinsip Perjanjian yang dinilai berpotensi memecah belah masyarakat.
Menurut warga, rancangan undang-undang tersebut berupaya untuk menafsirkan kembali Perjanjian Waitangi, sebuah kebijakan berusia puluhan tahun yang bertujuan untuk memberdayakan suku Maori, yang merupakan 20 persen dari 5,3 juta penduduk Selandia Baru.
Masyarakat Maori tidak mempunyai akses terhadap kesehatan seperti masyarakat lainnya. Mereka pun kerap mengalami penangkapan dan penahanan atas berbagai tuduhan.
Sejumlah politisi, termasuk pemimpin ACT David Seymour, akhirnya menemui ribuan pengunjuk rasa dan mendengarkan protes mereka.
Ketika Seymour muncul, ribuan orang menampilkan haka, atau tarian perang Maori, dan mulai meneriakkan “Hancurkan tagihannya.”
Pada saat itu, dalam pertemuan tersebut juga tercapai petisi penolakan RUU yang ditandatangani 203.653 orang.
Seperti dilansir Reuters, Perjanjian Waitangi pertama kali ditandatangani pada tahun 1840 oleh Kerajaan Inggris dan lebih dari 500 kepala suku asli Maori. Perjanjian ini mengatur kesepakatan antara kedua pihak mengenai Pemerintah Selandia Baru.
Perjanjian tersebut memberi suku Maori hak yang luas untuk melindungi tanah mereka dan melindungi kepentingan mereka guna mengalihkan pemerintahan ke Inggris.
Perjanjian tersebut masih memandu hukum dan kebijakan Selandia Baru hingga saat ini. Namun, hal ini dibarengi dengan keputusan pengadilan dan tribunal Maori yang memperpanjang hak dan hak istimewa Maori selama beberapa dekade.
RUU ACT sendiri tidak akan lolos karena sebagian besar pihak berkomitmen menolaknya. Meski demikian, warga setempat masih memprotes pemberlakuan RUU tersebut karena diyakini berpotensi menimbulkan keresahan di kalangan warga Selandia Baru. (blq/dna)