Jakarta, CNN Indonesia –
Pakar otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mempertimbangkan sejumlah pro dan kontra setelah pemerintah memberikan insentif tambahan berupa gratis PPnBM untuk impor mobil listrik CBU.
Ia menjelaskan, manfaat yang disahkan melalui Peraturan Menteri Penanaman Modal dan Penanaman Modal atau Kepala BKPM Nomor 1 Tahun 2024 bisa berdampak pada berbagai aspek.
Antara lain, terdapat dorongan signifikan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Namun, menurutnya, hal tersebut harus dibarengi dengan implementasi dengan strategi yang tepat.
“Secara keseluruhan, potensi manfaat Peraturan BKPM Nomor 1 Tahun 2024 bagi ekosistem kendaraan listrik Indonesia kemungkinan besar akan lebih besar. Tapi hanya jika kebijakan ini diterapkan dengan strategi yang tepat,” ujarnya kepada fun-eastern.com, Kamis (21/2). 11).
Menurut Yannes, kebijakan ini akan mendorong pembangunan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya atau SPKLU.
Selain itu, kebijakan ini dapat menarik investasi besar dalam rantai pasokan kendaraan listrik, khususnya di sektor baterai, yang terkait dengan sumber daya mineral Indonesia yang kaya seperti nikel.
“Hal ini memperkuat posisi Indonesia sebagai hub produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan transfer teknologi,” ujarnya.
Kehilangan
Meski regulasi BKPM membawa banyak manfaat, Yannes juga menyoroti besarnya risiko yang melekat pada industri kendaraan listrik di Indonesia, terutama bagi perusahaan yang sebelumnya telah berinvestasi dalam jumlah besar.
Ia mencontohkan produsen mobil asal Korea Selatan, Hyundai, yang dinilai berpotensi kehilangan daya saing di pasar dalam negeri menyusul pemberlakuan aturan tersebut.
“Jika insentif lebih menguntungkan kendaraan listrik impor tanpa strategi yang melindungi produsen lokal, maka industri kendaraan listrik yang sudah berinvestasi di Indonesia berisiko kehilangan daya saing secara signifikan,” ujarnya.
Yannes kemudian juga menjelaskan, ketergantungan yang berlebihan terhadap produk mobil listrik impor juga berpotensi melemahkan kemandirian industri dalam negeri dan menjadikan perekonomian rentan terhadap gangguan rantai pasokan global.
Selain itu, perusahaan otomotif yang sudah lama berinvestasi di Indonesia juga berisiko mengalami efek longsoran (avalanche effect) dari kebijakan tersebut.
Daripada perlahan-lahan mengembangkan teknologi dari mesin pembakaran dalam (ICE) ke mesin semi-listrik (hibrida) dan menuju listrik murni, aturan ini bisa dilanggar dengan produk impor yang lebih murah.
Yannes menyarankan agar pemerintah menyeimbangkan insentif bagi produsen lokal dan asing untuk menciptakan iklim persaingan perdagangan yang sehat.
“Pendekatan komprehensif dapat memaksimalkan manfaat kebijakan ini tanpa mengorbankan industri dalam negeri yang sudah ada,” ujarnya.
(bisa/fea)