Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana memperluas pembangunan tembok laut raksasa yang saat ini hanya ada di Jakarta hingga ke Banten. Apalagi tanggul laut raksasa itu memanjang hingga Jawa Timur.
Tak sebagian, kebutuhan anggarannya diperkirakan mencapai Rp 700 triliun.
Pembangunan tersebut bertujuan untuk memitigasi risiko bencana perubahan iklim di Pantai Utara Jawa (Pantura), khususnya terkait erosi pantai dan banjir.
Sebelum pelantikan dan penobatan Prabowo, Menteri Koordinator Perekonomian Airlanga Hartarto mengatakan kebijakan tersebut sudah ada dan masuk dalam Rencana Strategis Nasional (PSN). Ia mengatakan, pembangunan bendungan tersebut akan bekerja sama dengan pihak swasta.
“Kalau sekarang sedang kita siapkan kajiannya, estimasi biayanya mungkin Rp 600-700 tergantung berapa. Kita bicara triliunan,” kata Airlanga di Bandung, Jumat (19/1).
Airlanga mengatakan, pemerintah masih mengkaji seluruh aspek pembangunan tembok laut masif tersebut. Termasuk proyek pembangunan melalui kemitraan publik-swasta.
Menurutnya, banyak investor yang tertarik dengan proyek ini. Namun, dia enggan membeberkan siapa saja investor yang dimaksud.
“Banyak reksa dana yang siap masuk,” ucapnya.
Hashim Johadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hidup, yang juga adik laki-laki Prabowo, mengatakan proyek tembok laut raksasa harus segera dimulai. Penyebabnya adalah bahaya terendamnya sawah di pesisir utara Pulau Jawa (Pantura).
“Program Pak Prabowo adalah membangun tanggul laut raksasa dari Banten hingga Jawa Timur. Program ini akan berlangsung 20 tahun. Mungkin akan dilaksanakan oleh dua atau tiga presiden. Tapi kita harus mulai sekarang,” kata Hashim akhir tahun lalu. Oktober.
“Kalau tidak dimulai sekarang, sawah di pantai utara akan terendam dan jutaan hektare hilang. Ini situasi mendesak dan harus dilakukan sekarang karena akan memakan waktu lama,” ujarnya. Lanjutan. .
Menteri Pekerjaan Umum Dodi Hangodo mengatakan pembangunan tanggul laut raksasa itu tidak mudah. Salah satu alasannya adalah tingginya biaya pengembangan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kebutuhan biaya tersebut, pembangunan tembok laut masif tersebut dipotong-potong. Saat ini kebijakan pembangunan masih terfokus pada proyek bendungan besar-besaran yang dilaksanakan di Jakarta sejak tahun 2014.
“Tanggul laut raksasa itu sebenarnya untuk Jakarta. Memang programnya besar untuk Pulau Jawa bagian utara, tapi dengan keterbatasan anggaran tentu akan kita potong-potong, Jakarta, Semarang, betul,” ucapnya. Dodi. Dalam pertemuan yang digelar di kantornya, Senin (18/11).
Lalu apakah perlu membangun tanggul laut raksasa dan dari mana dananya?
Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga berkomentar lima soal rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Jawa Timur. Pertama, Bhima menyerukan pembatalan proyek tembok laut.
“Proyek tembok laut raksasa itu harusnya dibatalkan dan tidak dilanjutkan. Proyek ini sama sekali tidak sejalan dengan semangat pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.
Kedua, kata dia, tembok laut raksasa membutuhkan biaya konstruksi yang sangat mahal serta pemeliharaan dan pemeliharaan yang berjangka panjang.
“Di sinilah biayanya pasti masuk ke APBN, APBN tidak bisa karena tidak cukup. Kalau mau pinjam uang untuk membangun tanggul laut raksasa, lebih baik digunakan untuk hal lain. Karena bagaimana bisa? jangka panjang Anda akan melunasi utang besar ini,” tambahnya.
Ketiga, Nirvono menilai tembok laut raksasa tidak akan menyelesaikan masalah penurunan tanah dan kenaikan permukaan air. Karena permukaan laut terus naik dan bendungan terus meningkat, berarti tidak ada akhir yang terlihat.
Pertanyaannya adalah mengapa membangunnya jika tidak menyelesaikan akar masalah – katanya.
Keempat, ia merekomendasikan agar pemerintah menata kembali tata ruang kawasan pesisir, menyediakan rumah susun sewa sederhana (rusunava) kepada nelayan dan penghuni pantai.
“Sehingga garis pantai tidak berpenghuni dan tidak ada lagi pemukiman yang terancam tenggelam,” jelasnya.
Kelima, ia berpendapat sebaiknya penataan kembali kawasan pesisir dengan penanaman mangrove. Sementara perbaikannya bisa melibatkan nelayan dan warga pesisir.
“Dalam melakukan regenerasi mangrove, menarik untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kawasan pesisir secara besar-besaran. Regenerasi mangrove dapat mendorong nelayan dan warga untuk menanam dan menjaga habitat ekosistem mangrove,” tutupnya.
Dicky Muslim, dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran (ANPAD) mengatakan, pembangunan tanggul tidak bisa dijadikan solusi untuk seluruh wilayah pesisir.
Dickie juga mengatakan, wacana pemerintah untuk menyelamatkan pantai utara sudah bagus. Sebab, secara statistik, 80 persen penduduk Jawa tinggal di wilayah utara, sedangkan sisanya tersebar di wilayah tengah dan selatan.
Oleh karena itu, besarnya jumlah penduduk kota-kota di Jawa Utara tersebut harus dilindungi.
Dalam konteks daerah tenggelam, Dickey menjelaskan ada dua hal yang terjadi, yakni kenaikan muka air laut dan penurunan permukaan tanah.
Dia mencontohkan kawasan di Jakarta yang dilindungi tanggul untuk mencegah banjir. Meskipun bendungan ini berguna, penurunan permukaan tanah tidak berhenti sampai di sini.
“Tentu ada manfaat dari bendungan ini. Tapi kalau mau diukur harus ada BCR atau rasio biaya manfaat berdasarkan luasnya,” kata Dickey.
Oleh karena itu, menurutnya, penyelesaian masalah erosi pantai dengan tanggul hanya cocok diterapkan di wilayah berbeda dan tidak di pantai utara.
“Kalau mau asuransi terhadap naiknya air laut, tidak ada solusi lain. Di beberapa daerah [penggunaan tanggul] sudah berhasil. Tidak bertahan lama [Banten-Jawa Timur], jadi terlalu banyak. Khusus untuk masing-masing daerah,” ujarnya.
Dickey berpendapat bahwa solusi lokal bergantung pada beberapa variabel, seperti rata-rata kenaikan permukaan laut; Pergerakan air laut ke daratan menyebabkan pasang surut; Pembangunan perkotaan atau pembangunan wilayah.
Sebuah studi Deltars pada tahun 2020 yang menilai risiko pesisir di Jawa berpendapat bahwa melindungi 1.500 km garis pantai utara dengan infrastruktur keras seperti tembok laut tidaklah mungkin dilakukan. Hal ini disebabkan adanya masalah pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan bila membangun di atas tanah lunak.
Dickey mengatakan, pembangunan benteng tidak efektif sebagai solusi jangka panjang terhadap masalah tenggelamnya pantai utara Jawa dan lebih cocok sebagai solusi jangka pendek.
Karena suhu bumi meningkat, permukaan air laut akan terus meningkat.
Menurut dia, masyarakat yang berada di kota-kota padat di pesisir utara Jawa harus direlokasi.
Artinya air laut tidak bergerak, artinya rumah ikut berpindah, karena laut tidak bisa bergerak, jelasnya.