Jakarta, CNN Indonesia –
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, pengusaha harus memprioritaskan mempekerjakan tenaga kerja Indonesia di semua posisi yang tersedia dibandingkan tenaga kerja asing (TKA).
Hal ini tercermin dalam keputusan uji hukum UU Nomor 6 Tahun 2023, ref. Perkara: 168/PUU-XXI/2023, dibacakan pada Kamis (31 Oktober) oleh Pemohon Partai Buruh dan lain-lain. Dengan.
Putusan ini merupakan putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan uji materiil Pasal. 81 bagian 4 UU Cipta Kerja mengubah Art. 42 bagian 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Mahkamah menegaskan bahwa setiap pemberi kerja harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua posisi yang ada,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan komentar putusan MK, Kamis (31/10).
Penggunaan tenaga kerja asing diperbolehkan apabila tempat kerja tersebut sudah tidak lagi ditempati oleh tenaga kerja Indonesia. Hal ini juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar tenaga kerja nasional.
“Jika pekerja Indonesia tidak diperbolehkan bekerja di sana, tempat kerja bisa mempekerjakan pekerja asing. Namun penggunaan tenaga kerja asing akan bergantung pada kondisi pasar tenaga kerja di dalam negeri,” lanjut Arief.
Dewan juri juga menekankan kewajiban perusahaan untuk menunjuk karyawan lokal sebagai asisten karyawan asing. Tujuannya adalah untuk melakukan transfer teknologi dan keahlian dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia yang nantinya akan menggantikan tenaga kerja asing.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 2 (UU Cipta Kerja) yang diterbitkan pada tahun 2023, bukan Undang-Undang Nomor 2 (UU Cipta Kerja) tahun 2023.
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Logam Indonesia (FSPMI), Konfederasi Pusat Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Pusat Serikat Pekerja Indonesia (KPBI). ), pemerintah federal. Seorang anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) dan dua orang yakni Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai karyawan.
Dalam putusan setebal 687 halaman itu, Mahkamah meminta anggota parlemen segera membuat undang-undang ketenagakerjaan baru dan memisahkannya dari apa yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Mahkamah menilai adanya konflik standar antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Khususnya berkaitan dengan norma-norma undang-undang ketenagakerjaan yang telah diubah, baik berupa pasal maupun ayat, yang sulit dipahami oleh masyarakat awam, termasuk karyawan/pegawai.
Jika semua permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut tanpa segera dihentikan, maka pengawasan dan peraturan ketenagakerjaan akan mudah terhambat dan kemudian meninggalkan ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
Dengan undang-undang baru ini, Mahkamah Konstitusi meyakini permasalahan disharmoni dan desinkronisasi isi/isi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dapat segera dihilangkan, ditata kembali, dan diselesaikan.
“Apalagi banyak materi/substansi yang berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah dari undang-undang, termasuk beberapa peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai relevan dalam undang-undang ketenagakerjaan,” kata Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih.
(pta/pta)