Jakarta, CNN Indonesia –
Pengamat mengingatkan dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan.
Direktur Riset Perencanaan dan Perekonomian Indonesia Ronni P Sasmita mengatakan kenaikan PPN hingga 12 persen akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga. Kenaikan PPN tentunya akan menyebabkan kenaikan harga jual barang dan jasa.
“Karena biasanya perusahaan tidak bersedia menanggung sendiri kenaikan PPN, sehingga seringkali menjadi cara tercepat untuk menaikkan harga jual produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan,” ujarnya kepada CNNIndonesia com, Kamis (14/11). .
Roni mengatakan, daya beli masyarakat mengalami tekanan akibat kenaikan barang dan jasa sehingga masyarakat akan mengurangi konsumsi terhadap barang dan jasa tersebut sehingga permintaannya pun menurun.
Jika permintaan turun maka produksi industri akan menurun. Akibat kenaikan PPN, perusahaan bisa saja melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tidak berhenti sampai disitu, jika permintaan turun akibat menurunnya konsumsi rumah tangga, maka prospek investasi di Indonesia akan semakin buruk. Investor akan mempertimbangkan kembali untuk membuka investasi baru seiring dengan penurunan atau terus menurunnya kinerja pasar. Terakhir, target pertumbuhan ekonomi tahun depan akan sulit tercapai.
“Bahkan secara moneter, walaupun PPN naik, dampaknya bisa jadi pendapatan pemerintah justru menurun karena bisa menurunkan permintaan di masa depan, yang berujung pada penurunan produksi yang bisa mengurangi jumlah PPN yang diterima pemerintah,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Institute for Economic Development and Finance (INDEF) yang membidangi pengembangan big data, Eko Listianto, mengatakan kenaikan PPN hingga 12 persen akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.
Ia mengingatkan, pertumbuhan ekonomi bisa turun di bawah lima persen jika tahun depan PPN dinaikkan dari 11 menjadi 12 persen. Sebab, kenaikan PPN akan menurunkan daya beli bahkan konsumsi masyarakat menengah.
“Jika penerapan undang-undang tersebut (menaikkan PPN menjadi 12 persen) dilakukan dengan “mata kuda”, tanpa memperhitungkan fakta bahwa perekonomian saat ini sedang melambat, maka tahun depan kita bisa mulai berbicara tentang pertumbuhan ekonomi. di bawah 5 persen.” katanya. Debat Publik INDEF “Kelas Menengah Rusak”, Senin (9/9).
Eko mengatakan PPN belum mencapai 12 persen, konsumsi keluarga menurun. Sebelum pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga tumbuh minimal 5 persen per kuartal (qoq/ktk), namun pasca-Covid-19 pertumbuhan konsumsi hanya sebesar 4,9 persen. Meski turun hanya 0,1 persen, Eko mengatakan apa yang terjadi patut menjadi penyemangat bagi pemerintah.
“Kenapa begitu, karena 50 persen bahkan hampir 60 persen bicara pertumbuhan ekonomi bicara konsumsi. Kalau kita lihat konsumsi, ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 menjadi 12 persen mulai tahun depan. Peningkatan ini berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 dan Perjanjian Prinsip Perpajakan (HPP). Dalam beleid tersebut, PPN diperkirakan akan naik menjadi 11 persen pada tahun 2022, dan menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Pasal 7 ayat 2 UU tersebut berbunyi, “Tarif PPN sebesar 12 persen dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.”
Menteri Keuangan Sri Muljani mengungkapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun 2025 sejalan dengan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan Nomor. 7 tahun 2021.
Dia menegaskan, belum ada pembahasan mengenai penundaan penerapan pajak tersebut.
Meski banyak perdebatan mengenai kenaikan pajak meski daya beli menurun, Sri Muljani mengingatkan bahwa APBN sebagai alat pelemahan perekonomian akan baik.
“Kesehatan APBN akan tetap terjaga karena APBN akan bekerja dan mampu menjawab permasalahan krisis keuangan global. Countercyclicality akan tetap kita jaga,” ujarnya dalam rapat kerja KSI KPU, Rabu (13/11). ).
(fbi/pta)