Jakarta, CNN Indonesia —
Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjadi sorotan pada hari pertama proses penetapan kelayakan dan kesesuaian calon pimpinan KPK (capim) periode 2024- untuk menguji. 2029 di Komisi III DPRD. DPR, Senin (18/11).
Sejumlah anggota Komisi III DPR mempertanyakan pasal tersebut karena selama ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi.
“Terkait pasal 2 dan pasal 3 UU KPK [Tipikor], saat ini terjadi pro dan kontra bahwa kedua pasal tersebut justru berpotensi mengkriminalisasi yang lain. Bagaimana tanggapan Anda, calon?” kata anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di belakang Polri, Setyo Budiyanto, mendesak uji materi terhadap dua pasal tersebut. Menurut dia, pasal tersebut kerap menyulitkan penyidik karena dianggap bias.
Setyo menjelaskan, pasal 2 dan 3 UU Tipikor berpotensi menjerat penyelenggara pemerintahan dalam mengambil keputusan meski tidak menguntungkan dirinya.
“Menurut kami, sebaiknya ada judicial review atau mungkin judicial review di Mahkamah Konstitusi agar para pengambil kebijakan tidak disalahkan,” kata mantan Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 4 tahun. 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.”
Sedangkan Pasal 3 berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sumber daya yang ada padanya karena jabatannya atau karena jabatannya yang merugikan keuangan negara, dapat membahayakan atau. perekonomian negara diancam dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak Rp.
Pendapat senada juga diungkapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berlatar belakang jaksa, Fitroh Rohcahyanto. Dalam pemaparannya, Fitroh menilai kedua pasal tersebut bias dan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Menurut Fitroh, setiap proyek pengadaan yang dilakukan pemerintah harus ada pihak yang diuntungkan. Dalam beberapa kasus, jika targetnya adalah keuntungan, semua pihak yang mendapat manfaat dari proyek pemerintah dapat dituduh melakukan korupsi.
Fitroh mengungkapkan, kedua klausa pasal tersebut sebenarnya hanya ada di Indonesia. Dia menilai, pasal 2 dan 3 harus ditafsirkan jika keuntungan itu diambil dengan cara melanggar hukum.
“Tapi kalau dilihat yang penting tanahnya hilang, yang penting masyarakatnya tidak legal, bahaya sekali,” ujarnya.
Fitroh mengaku akan berhati-hati dan tegas dalam penggunaan kedua pasal tersebut. Dia tidak ingin melakukan kesalahan dengan menangkap siapa pun atau menetapkannya sebagai tersangka.
“Saya yakin kalau kita berbuat salah terhadap orang, niscaya kita akan dihukum selama kita masih di dunia. Oleh karena itu dalam undang-undang diketahui bahwa lebih baik membiarkan 100 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. .