Jakarta, CNN Indonesia –
Pemerintah Israel akan mendenda surat kabar tertua di negara Zionis itu, Haaretz, setelah dianggap terlalu penting bagi pemerintah.
Kabinet Israel pada hari Minggu menyetujui sanksi terhadap Haaretz atas laporan surat kabar tersebut mengenai kekerasan di Jalur Gaza dan komentar dari surat kabar tersebut yang menyerukan sanksi terhadap pemerintah senior.
Usulan pemberian sanksi disampaikan oleh Menteri Komunikasi Israel Shlomo Kar’i. Dengan keputusan ini, pemerintah Israel harus menghentikan publikasi pemerintah di Haaretz dan menghapus semua nama pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai perusahaan negara (BUMN).
“Kita tidak boleh membiarkan fakta bahwa media di Israel menyerukan kecaman terhadap negara ini, mendukung musuh-musuh negara di tengah perang, dan terus menerima uang dari negara pada saat komunitas internasional sedang mengancam. negara. Legitimasi rakyat Israel, menjadikan haknya untuk membela diri dan bertindak karena ada hukuman baginya dan para pemimpinnya, “Kar’i kata usulan itu, seperti dilansir CNN.
Haaretz adalah outlet media terkemuka Israel dan dihormati di seluruh dunia. Surat kabar ini menyoroti perang Israel di Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.
Mereka juga memberikan laporan investigasi atas kejahatan yang dilakukan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) selama operasi militer di Gaza dan Lebanon.
Haaretz menanggapi denda ini. Mereka menggambarkan langkah tersebut sebagai upaya untuk “membangun surat kabar yang kritis dan independen.”
Hukuman itu sendiri berasal dari pidato penerbit Haaretz Amos Schocken pada tanggal 27 Oktober di London, yang menyebut milisi Hamas sebagai “pejuang kemerdekaan.”
Ia mengatakan, saat itu pemerintah Israel tidak peduli dengan apartheid yang telah merugikan rakyat Palestina.
“Mereka mengabaikan biaya yang dikeluarkan kedua belah pihak untuk menjaga perdamaian sambil memerangi pejuang kemerdekaan Palestina yang Israel sebut sebagai teroris,” ujarnya.
Komentarnya pun mendapat kecaman dari berbagai kalangan masyarakat Israel. Schocken mengklarifikasi pernyataannya dengan menyatakan bahwa ia tidak percaya bahwa pejuang Hamas adalah pejuang kemerdekaan.
Haaretz mengatakan dalam bukunya bahwa Schocken berbicara tentang “warga Palestina yang hidup dalam penjajahan dan penindasan di Tepi Barat.”
Dalam pidatonya, Schocken juga menyerukan sanksi internasional terhadap para pemimpin Israel sebagai satu-satunya cara untuk memaksa pemerintah mengubah arah.
“Dalam arti tertentu, apa yang terjadi sekarang di wilayah pendudukan dan wilayah Gaza adalah Nakba kedua,” ujarnya.
“Negara Palestina harus ada, dan satu-satunya cara untuk melakukan itu, menurut saya, adalah dengan mengutuk Israel, terhadap para pemimpin yang menentangnya, dan terhadap orang-orang yang tinggal di sana,” imbuhnya saat itu.
Sebelumnya, pemerintah Israel juga menutup dan menghentikan aktivitas pemberitaan Al Jazeera di Ramallah. Keputusan tersebut diambil dengan alasan yang sama, yakni karena layanan Al Jazeera melanggar hak Israel untuk membela diri.
Koresponden perang Al Jazeera seringkali menjadi korban serangan Israel di Gaza. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) telah mendokumentasikan bahwa setidaknya 137 jurnalis dan pekerja media terbunuh saat meliput perang tersebut.
Angka tersebut menjadikan peristiwa terkini sebagai periode paling mematikan bagi jurnalis sejak tahun 1992, ketika CPJ mulai mengumpulkan data.
(blq/dna)