Jakarta, CNN Indonesia —
Julukan “Gus” semakin banyak digunakan oleh para pendeta dan sering muncul di layar kaca. Namun dari manakah sebenarnya julukan “Gus” itu berasal?
Salah satu tokoh yang menyandang julukan Gus adalah Miftah Maulana Habiburrahman. Belakangan, namanya ramai diperdebatkan setelah ia dikritik karena pernyataannya yang dianggap menghina penjual es teh keliling.
Miftah Maulana Habiburrahman, tokoh masyarakat sekaligus kyai ternama, dinilai melanggar nilai moral terkait gelar “Gus”. Pasalnya, perilaku dan ucapan seseorang yang menyandang panggilan tersebut diharapkan mencerminkan akhlak dan pendidikan yang luhur.
Selain Miftah Maulana Habiburrahman, masih banyak ulama lain yang disebut juga ‘Gus’. Asal usulnya disebut ‘Gus’.
Julukan “Gus” mempunyai akar sejarah yang panjang dan signifikan, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Asal usul julukan ‘Gus’ awalnya digunakan sebagai sebutan kehormatan bagi putra raja di keraton, khususnya pada masa Kesultanan Islam Mataram.
Merangkum berbagai sumber, julukan “Gus” berasal dari kata “Bagus” yang berarti “anak laki-laki yang berkedudukan tinggi” dalam bahasa Jawa.
Seiring berjalannya waktu, sapaan ini menyebar ke kalangan pesantren dan menjadi sebutan yang diberikan kepada anak-anak kiai, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
Ucapan ini bermula pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) yang dikenal sebagai raja dan santri.
Sebutan ‘Gusti’ atau ‘Den Bagus’ digunakan untuk menyebut putra-putra raja, mencerminkan status mereka sebagai pewaris nilai-nilai kepemimpinan yang berakar pada ajaran Islam.
Tradisi ini kemudian diadopsi oleh para ulama dan kiai di luar lingkungan keraton. Mereka menyapa putra mereka dengan julukan “Gus”, melambangkan harapan besar mereka agar anak tersebut meneruskan peran ayahnya sebagai pemimpin spiritual.
Menurut Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939), “Gus” digunakan juga sebagai gelar yang diberikan karena faktor keturunan (attribute status) atau prestasi individu dalam masyarakat (achieved status). Hal ini menjelaskan mengapa julukan “Gus” tidak hanya berlaku bagi anak-anak Kiai, namun juga bagi mereka yang memiliki ilmu agama yang mendalam dan dihormati perjuangan spiritualnya.
Di sisi lain, Gus Kautsar, putra pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso, pernah menegaskan, julukan “Gus” merupakan bentuk penghormatan atas jasa orang tuanya, bukan prestasi pribadi.
Ia mengingatkan, mereka yang dipanggil ‘Gus’ harus mempunyai tanggung jawab moral yang besar. Cobalah untuk memantapkan diri dengan sikap rendah hati dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat.
Dari asal usul nama panggilan ‘Gus’ di atas, setidaknya kita mengetahui bahwa nama panggilan ini bukan hanya sekedar gelar, melainkan simbol kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap yang memilikinya.
Di tengah modernisasi, nilai-nilai luhur yang melekat pada panggilan ini perlu dilestarikan agar tetap relevan dan dihormati. (ts/asr)