Jakarta, CNN Indonesia —
Banyak pemerhati dan pakar pendidikan yang angkat bicara soal rencana Kemendikbud kembali memperkenalkan Ujian Nasional (UNC) di tingkat sekolah. Secara umum, ia berpendapat sistem dan format lama tidak boleh digunakan lagi dalam ujian nasional.
Pakar kebijakan pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Arif Rohman mengatakan, pembahasan ulang pelaksanaan Ujian Nasional (UNY) harus penuh dengan bentuk dan inovasi baru.
Saya kira harus ada inovasi dalam bentuk ujian nasional. Karena situasinya berbeda, sekarang nuansanya berbeda, kata Arif di Yogyakarta, Jumat (8/11), seperti dikutip Antara.
Menurut Arif, pelaksanaan ulang UN tidak boleh sekadar mengulang model sebelumnya, karena saat itu banyak ditolak karena lemahnya pelaksanaan sehingga membuat seluruh siswa takut.
Ujian nasional pada masa lalu seringkali dianggap sakral dan menakutkan, kata Arif, sehingga menimbulkan tekanan di kalangan siswa, termasuk di sekolah.
“Kalau seperti dulu ditolak, artinya kita lihat banyak kelemahan di PBB, antara lain memberi tekanan pada anak, campur tangan politik saat masuk, bupati, wali kota, penargetan dan lain-lain.
Menurut Arif, inovasi yang diharapkan muncul dalam bentuk baru PBB ini adalah penghindaran standar yang seragam dalam praktiknya.
Ia mengatakan PBB dapat digunakan kembali dengan menyederhanakan karakteristik yang beragam di setiap wilayah dan mempertimbangkan kemampuan yang berbeda-beda di wilayah tersebut.
“Perlu ada semacam zonasi dalam ujian nasional agar tidak seragam bagi semua orang dari Sabang sampai Merauke,” kata Arif.
Secara terpisah, Pembina Pendidikan Universitas PGRI Semarang (Apagris) Ngasbun Agar juga mengamini bahwa pelaksanaan ujian nasional nanti tidak boleh membawa sistem lama.
“Pertemuan PBB bisa diadakan kembali, tapi jangan sampai terulang lagi,” ujarnya di Semarang, Jumat. Kelembutan PBB yang terakhir.
Menurutnya, pemerintah sebagai pengambil kebijakan berhak mengevaluasi sistem pendidikan saat ini termasuk pelaksanaan PBB.
Namun, kata dia, perlu diingat bahwa banyak kelemahan sistem administrasi PBB di masa lalu yang telah diatasi dengan mengatasi kelemahan PBB sebelumnya.
Kalaupun diterapkan kembali, mantan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Semarang ini mengatakan, tentu perlu dikaji agar kelemahan sistem sebelumnya tidak terulang kembali.
“Pertama, jangan jadikan UN sebagai penentu utama kelulusan siswa. Kalaupun menjadi penentu, bagus, tapi persentasenya kecil,” kata Ngasbun.
Kedua, kata dia, ujian nasional bukan sekedar tes untuk mengukur kemampuan siswa seperti kecerdasan atau pengetahuan, tetapi harus merupakan kemampuan yang utuh dan komprehensif.
“Kemampuan seorang siswa mempunyai tiga aspek, yaitu pengetahuan atau kecerdasan, kepribadian atau sikap, dan berbagai keterampilan. Oleh karena itu, ujian nasional hanya mengukur kecerdasan otak.
Jika UN hanya mengukur kecerdasan, maka tujuan pendidikan akan berkurang, maka UN harusnya bisa mengukur perasaan dan tujuan belajar dengan jelas.
Arif mengamini pembahasan kembali ujian nasional karena bertujuan untuk mendorong semangat belajar siswa dengan tujuan yang jelas.
Mereka menyadari bahwa penghapusan ujian nasional pada saat pelaksanaan mata kuliah merdeka belajar telah menyebabkan menurunnya prestasi siswa dan upaya memenuhi standar kualifikasi yang ketat.
“Ada banyak distorsi dan kelainan yang merusak banyak hal yang dibutuhkan siswa untuk mencapai potensi mereka,” katanya, namun ia menekankan bahwa pembicaraan mengenai reformasi ujian nasional hanyalah masa lalu. Evaluasi yang kritis dan komprehensif didahului.
“Tidak perlu menghidupkan kembali kenangan lama. Saya rasa pemerintah tidak perlu terburu-buru mengambil tindakan. Yang diperlukan sebenarnya adalah studi kelayakan yang menyeluruh,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Muti menginformasikan bahwa: Pimpinan Saudara akan mengkaji ulang penerapan Kebijakan Kurikulum Belajar Merdeka, Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dan mengakhiri pendidikan. Ujian Nasional (UN). Menurut Pak Muti, saat ini pihaknya sedang mengasimilasi keinginan para pihak terkait hal tersebut.
Serta panitia
Menurut ketua panitia
Muti menegaskan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) masih mengkaji kurikulum yang akan diterapkan di Indonesia dan belum memutuskan perubahan kurikulum mandiri.
Abdul Muti mengatakan, “Jadi soal UN, masalah zonasi PPDB, khususnya kurikulum merdeka belajar yang masih menjadi perdebatan, nanti akan kita lihat semuanya secara detail dan kita akan sangat berhati-hati.” Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat Senin (4/11).
Ia menegaskan, pertama, pihaknya akan mendengarkan keinginan pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan dan pengguna jasa pendidikan. (antara/anak)