Makassar, CNN Indonesia —
Mantan Kapolsek Bayta Ipda Muhammad Idris dan mantan Kanit Reskrim Polsek Bayta Ipda Amiruddin divonis hukuman degradasi dan kondisi khusus (Patsus) setelah kedapatan meminta dan menerima Rp 2 juta dari seorang guru sekolah dasar di Negeri Bayta. , Supriani di Kona Selatan, Sulawesi (Sultra)
Kapolda Sultra, Kompol Paul Iis Christiani, mengatakan Ipda Idris dan Aipda Amiruddin mendapat sanksi skorsing selama dua tahun dan skorsing 21 hari.
“Iya betul, kedua polisi itu divonis 21 hari penahanan dan 2 tahun pemindahan,” kata Iis, Jumat (12/6).
Selain itu, dua polisi juga mendapat hukuman etik, yakni meminta maaf kepada lembaga atas perbuatannya terhadap masyarakat.
Sanksi tambahan adalah sanksi etik berupa permintaan maaf, ujarnya.
Keputusan ini diberikan kepada Ipda Muhammad Idris dan Aipda Amiruddin berdasarkan fakta yang terungkap dalam uji Kode Etik.
Ketua komisi etik menyampaikan, Ipda Muhammad Idris dipastikan melakukan pelanggaran berupa meminta dukungan dana kepada guru Supriani, jelasnya.
Usai menjalani hukuman di pengadilan etik, dua polisi tersebut langsung ditempatkan dalam upacara khusus selama 21 hari untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya.
“Proses khusus akan dilakukan di Polda Sultra. Kita lihat nanti,” kata Kabag Propam Polda Sultra Kompol Moh Soleh.
Seperti dilansir dari laman resmi Polri, sanksi penurunan pangkat adalah memindahkan seorang anggota polisi dari jenjang jabatan yang didudukinya ke jabatan lebih rendah.
Pengertian penurunan jabatan di lingkungan Polri diatur dalam Pasal 1 Angka 24 Peraturan Kapolri Nomor 22 Tahun 2017. 19 Tahun 2012. tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Nasional Republik Indonesia.
Peraturan tersebut menyatakan: “Demosi adalah pemindahan yang bersifat hukuman berupa penyerahan jabatan dan penurunan pangkat, serta pemindahan ke jabatan, fungsi, atau departemen yang berbeda.”
Seorang guru, Supriyani, sebelumnya dituduh melakukan pelecehan terhadap siswanya yang merupakan petugas polisi di SD Negeri 4 Baito pada Rabu (24/4) sekitar pukul 10.00 Wita. Dalam persidangannya, jaksa penuntut umum (JPU) menyebut anak yang dianiaya berusia 8 tahun.
Dia ditangkap polisi, dan setelah kasusnya menarik perhatian publik, dia dibebaskan dari tahanan. Supriani kemudian ditangkap dan didakwa melanggar pasal 80(1) juncto pasal 76C Undang-Undang (UU) No. 35 Tahun 2014. tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016. Tentang Keputusan Pemerintah tentang Penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Tentang Pemberlakuan Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2002. tentang perlindungan anak.
Belakangan, kuasa hukum Supriyani mengatakan petugas polisi Bait meminta uang untuk menangkap kliennya dan/atau menghindari uang perdamaian. Kecurigaan tersebut kemudian didalami Propam Polda Sultra.
Sementara dalam kasus penganiayaan anak yang dilakukan polisi, hakim Pengadilan Negeri Andula membebaskan guru Supriani.
(perdamaian/anak)