Jakarta, CNN Indonesia —
Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati dalam kasus penyelundupan narkoba asal Filipina, akan dipulangkan ke Filipina setelah ditahan di Indonesia sejak 2010.
Mary Jane telah ditahan di Indonesia selama sepuluh tahun setelah dijatuhi hukuman mati.
Permintaan kebebasan Mary Jane diumumkan pada Rabu (20 November) oleh Presiden Filipina Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. melalui akun Instagram resminya.
“Mary Jane Veloso pulang,” tulis Bongbong dalam unggahannya.
Mary Jane sebelumnya ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010 setelah kedapatan menyelundupkan heroin seberat 2,6 kilogram dan dijatuhi hukuman mati pada Oktober 2010.
Karena kasus ini, Mary Jane dijatuhi hukuman mati untuk dieksekusi pada April 2015 di Nusakambangan.
Namun, sebelum eksekusi, hukuman mati terhadap Mary Jane ditunda karena Indonesia mendapat informasi perkembangan kasus terbaru dari Filipina terkait ekstradisi Maria Cristina Sergio, wanita yang mempekerjakan Mary Jane sebagai pembantu dan memberinya sekantong heroin.
Setelah penundaan tersebut, Mary Jane terus mendekam di penjara Indonesia sambil menunggu selesainya proses hukum terhadap Mary di Filipina.
Baru-baru ini, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan Mary Jane akan dipulangkan ke Filipina dengan kebijakan “detainee transfer” atau pemindahan tahanan pada Desember mendatang.
Proses pemindahan Mary Jane diperkirakan akan berlangsung pada Desember 2024, ujarnya dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (20 November).
Yusril mengatakan, Mary Jane kemungkinan akan terhindar dari hukuman mati jika mendapat pengampunan dari Presiden Filipina.
“Dalam kasus Mary Jane yang divonis mati di Indonesia, tidak menutup kemungkinan Presiden Marcos bisa memberikan grasi dan meringankan hukumannya menjadi seumur hidup, karena hukuman mati sudah dihapuskan dalam KUHP Filipina, jadi langkah ini adalah berkuasa penuh Presiden Filipina,” ujarnya.
Lalu bagaimana aturan eksekusi terpidana mati?
Menurut UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang berlaku di Indonesia, pidana mati dilaksanakan dengan masa percobaan selama 10 tahun, dengan mempertimbangkan penyesalan terdakwa dan harapan untuk memperbaiki diri atau peranan terdakwa dalam tindak pidana tersebut. .
Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fiqar Hajar mengatakan, segala upaya hukum terhadap terpidana mati harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dieksekusi.
“Eksekusi suatu tindak pidana, khususnya pidana mati, harus dilaksanakan dengan upaya maksimal, melalui proses peradilan. Harus banding, harus kasasi, harus PK. Semua ini harus dilakukan. Karena sangat mungkin keputusan yang diambilnya sebagai hakim manusia bisa saja salah. Makanya segala sesuatunya “harus melalui proses hukum hukuman mati,” kata Abdul saat dihubungi CNIndonesia.com, Rabu (20/11).
Ia menegaskan, setiap proses pidana mati harus selalu dicermati dan melalui beberapa langkah hukum sebelum pelaksanaan pidana mati, karena bisa jadi ada kesalahan hakim dalam mengambil keputusan.
“Pada dasarnya, proses hukuman mati harus diikuti di semua tingkatan.” Artinya Mahkamah Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Agung, dll. Semua harus memanfaatkan ini, karena ada kesadaran bahwa hakim pun juga manusia dan bisa salah dalam mengambil keputusan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Abdul menjelaskan eksekusi tidak dilakukan segera setelah hukuman mati.
“Kalau sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak langsung diadili, tidak langsung dieksekusi. Jika masuk penjara, orang tersebut langsung ditangkap, dimasukkan ke penjara, begitu ada kekuatan hukum tetap. “Tapi untuk hukuman mati belum pasti, makanya kebanyakan peraturan muncul, tidak ada jeda 10 tahun,” ujarnya.
Hukuman mati, kata Abdul, bisa diringankan jika tindakan hukum yang dilakukan terpidana, seperti banding, kasasi, atau grasi, diterima atau diampuni.
“Atau ada hal lain yang kemudian dapat mengubah putusan menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk jangka waktu tertentu.” Jadi lamanya terpidana mati terhadap orang tersebut karena persidangan tetap berjalan,” imbuhnya.
Abdul mengatakan, hukuman mati bagi terpidana yang permohonan ampunnya diterima bisa diringankan menjadi penjara seumur hidup atau penjara jangka waktu tetap.
Dalam kasus Mary Jane, tim kuasa hukumnya di Indonesia mengajukan dua kali banding setelah hukuman mati tersebut, dengan alasan bahwa ia tidak memiliki penerjemah yang kompeten dan bahwa ia telah ditipu. Namun, kedua banding tersebut ditolak.
Lebih lanjut Abdul menambahkan, Indonesia telah memiliki perjanjian bantuan hukum multilateral antara negara-negara ASEAN dan Filipina sehingga dapat melakukan pertukaran tahanan di negaranya.
“Sekarang kita sudah sepakat mengenai bantuan hukum timbal balik ya, di Indonesia pun sudah ada undang-undang yang mempunyai landasan hukum. Kedua negara memiliki perjanjian bilateral dan multilateral, di Filipina kami memiliki perjanjian multilateral ASEAN dalam hal ini. ekstradisi, jadi boleh,’ misalnya ada dasar hukum penukaran tahanan WNI ke Filipina,” tambah Abdul.
Yusril Ihza Mahendra menegaskan, kepindahan Mary Jane ke Filipina bukan berarti ia lajang. Dia akan menjalani sisa hukumannya di Filipina sesuai ketentuan yang ditetapkan.
“Bahwa sekembalinya ke negaranya dan menjalani pidana, kewenangan pembinaan narapidana beralih menjadi kewenangan negaranya,” kata Yusril.
Jadi menurut Abdul, kemungkinan besar hukuman Mary Jane akan diringankan di negara asalnya.
“Karena mereka menukarnya di sana, kemungkinan besar hukumannya akan diringankan dan bukan hukuman mati.” Itu sangat mungkin terjadi,” kata Abdul.
Ditambahkannya, kemungkinan tersebut didukung dengan adanya kebijakan hukum internasional yang mengatur keputusan hukum negara lain.
“Ada prinsip kedaulatan hukum negara dalam hukum internasional. Artinya, hal tersebut tidak dapat diatur oleh keputusan atau hukum negara lain. Makanya saya katakan tadi, kalaupun ada hukuman mati di Filipina, tidak bisa dilakukan di sana,” kata Abdul.
Abdul juga menilai upaya hukum pengembalian Mary Jane ke Filipina menunjukkan adanya unsur perlindungan negara.
“Tapi menurut saya ada upaya untuk menukarnya, karena saling bantu hukum, artinya ada unsur perlindungan dari negara.” Oleh karena itu, misalnya, hukumannya bisa diubah menjadi penjara yang adil,” ujarnya. katanya. . (arn/tidak)