Jakarta, CNN Indonesia –
Presiden Prabowo Subanto menyebut salah satu ciri negara telah gagal. Ia mengatakan, negara akan gagal jika kekayaan negara hanya dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat.
Pernyataan tersebut disampaikannya pada pertemuan konferensi (KTT) G20 di Brazil. Ia pun meyakini, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara tidak akan ada gunanya jika pada akhirnya sebagian besar masyarakat tidak bisa menikmati “berkah” tersebut.
“Kesejahteraan adalah tujuan kami, namun ketika pertumbuhan tinggi, tidak masuk akal jika sebagian besar masyarakat tidak dapat menikmati pertumbuhan tersebut. Ketika kekayaan hanya dimiliki oleh sedikit orang, saya pikir itu adalah resep kegagalan,” kata Pabowo. Dihadapan para kepala negara dan pemerintahan, Senin (18/11).
Dalam kesempatan tersebut, Prabowo juga menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi tidak boleh dirancang untuk membuat sebagian besar masyarakat menjadi miskin dan kelaparan. Negara wajib memberikan pangan kepada rakyatnya karena kebutuhan tersebut sangat mendasar.
“Saya sudah yakin selama bertahun-tahun bahwa suatu negara harus mampu memberi makan rakyatnya. Oleh karena itu, ketahanan pangan adalah hal terpenting dalam strategi saya. Dan ini sejalan dengan tema KTT G20 tentang pemberantasan kemiskinan dan kelaparan,” imbuhnya.
Lantas apakah Indonesia termasuk negara yang dipengaruhi oleh Prabowo?
Adik Prebowo, Hashim Djojohadikusumo, pernah mengetahui kondisi menyedihkan kesenjangan ekonomi di Indonesia. Ketimpangan tersebut, kata dia, terlihat dari total kekayaan 10 orang terkaya Indonesia yang ternyata berjumlah lebih dari 114 juta penduduk nusantara.
“Hingga 10 keluarga terkaya di Indonesia, lebih kaya dari 114 juta penduduk Indonesia. Ada waktu di gudang. 50 keluarga kaya di Indonesia, mungkin termasuk keluarga saya dan Prabowo, kami akui,” ujarnya dalam dialog ekonomi di Menara Kadin. , Jakarta Selatan, Rabu (23 Oktober).
Namun Hasyim meyakinkan sang kakak untuk bertekad mengatasi masalah tersebut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
“Karena kalau mereka lebih berkuasa, kaya, kaya, punya penghasilan banyak, maka kita beruntung. Rakyat kita sudah kaya, mereka tidak akan membawa uang ke Hong Kong, Shanghai, Jenewa. Nanti uangnya ya, mereka pindah ke sini, pengeluaran kita dan manfaatnya.
Ekonom Yusuf Silry Manilet, Pusat Reformasi Ekonomi Indonesia (Kern), mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah indikator yang menyebabkan ketimpangan ekonomi signifikan.
Ia melihat rasio Gini yang berfluktuasi antara 0,38 dan 0,41 dalam beberapa tahun terakhir, jelas mencerminkan ketimpangan pendapatan yang sangat serius.
Hal ini merujuk pada data kepemilikan kekayaan yang menunjukkan 1 persen penduduk terkaya menguasai lebih dari 45 persen kekayaan negara.
Selain itu, Yusuf mengatakan ketimpangan di Indonesia juga terlihat dari akses terhadap sumber daya ekonomi seperti tanah, modal, dan peluang usaha masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Yusuf pun mengamini pernyataan Hasyim yang menegaskan kekayaan sepuluh keluarga terkaya melebihi kekayaan 114 juta penduduk Indonesia.
Fakta tersebut, didukung data dari Swiss Credit Union dan berbagai lembaga penelitian internasional, menurut saya mencerminkan konsentrasi kekayaan yang sangat tinggi di kalangan elit ekonomi, ujarnya kepada fun-eastern.com, Rabu (20 November).
Sementara sebagian besar masyarakat masih bergelut dengan keterbatasan ekonomi yang diperparah dengan permasalahan struktural seperti ketimpangan akses pendidikan, infrastruktur yang belum memadai, dan sistem perpajakan yang kurang baik dalam distribusi kekayaan, jelas Yusuf.
Senada, Direktur Economic Center for Economic and Legal Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan indikator mayoritas adalah 50 persen plus 1 dan Indonesia tidak termasuk negara gagal.
Namun jika menyangkut penguasaan sumber daya ekonomi seperti kekayaan, alam, dan sebagainya, ia menilai Indonesia sangat timpang.
“Kekayaan sepuluh orang terkaya di Indonesia adalah kekayaan ratusan juta masyarakat Indonesia. Kalau begitu berarti Indonesia tidak akan menjadi negara sejahtera dan kesenjangan akan berkurang,” kata Nailul.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ini?
Yusuf menilai pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis dan sistematis untuk menyelesaikan masalah ini. Menurutnya, reformasi perpajakan paling progresif seperti pajak bumi dan bangunan dan optimalisasi pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan.
Selain itu, pemerataan pembangunan melalui industrialisasi non-mingguan dan pengembangan pusat-pusat ekonomi baru juga dinilai sangat penting.
Selain itu, Yusuf mengatakan reformasi sistem pendidikan harus dilakukan untuk menjamin akses pendidikan yang berkualitas di seluruh lapisan masyarakat dan memperkuat UMKM melalui kemudahan akses permodalan dan teknologi.
“Ada beberapa langkah konkrit yang saya yakini dapat segera dilaksanakan, seperti meningkatkan anggaran pelatihan vokasi sesuai kebutuhan industri, memberikan insentif perpajakan bagi industri padat karya di daerah tertinggal dan mengembangkan sistem jaminan sosial yang lebih komprehensif,” jelasnya .
Ia menjelaskan, reformasi perpajakan dan penguatan UMKM dapat dilaksanakan dalam satu hingga dua tahun ke depan dalam jangka pendek dan menengah.
Sementara itu, kata dia, kebijakan struktural seperti pemerataan pembangunan dan reformasi pendidikan memerlukan waktu lebih dari lima tahun untuk menunjukkan hasil yang signifikan.
Lebih lanjut, Yusuf mengapresiasi pengurangan ketimpangan memerlukan pendekatan multipihak yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.
Menurutnya, sektor swasta dapat berkontribusi melalui penciptaan lapangan kerja berkualitas dan transfer teknologi yang dapat didorong melalui berbagai insentif.
“Di sisi lain, masyarakat sipil berperan penting dalam memantau implementasi kebijakan dan mendorong pemberdayaan ekonomi pada tingkat fundamental. Bagi saya, kolaborasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan adalah kunci untuk mencapai solusi yang berkelanjutan,” jelasnya.
Senada, Nailul juga mengatakan agar pemerintah melakukan redistribusi pendapatan melalui berbagai instrumen kebijakan negara untuk mengatasi ketimpangan di Indonesia.
Pertama, melalui kebijakan perpajakan berupa pajak bumi dan bangunan, dan kedua, melalui program bantuan sosial yang sumbernya bersumber dari pajak bumi dan bangunan.
“Saat ini saya yakin kesejahteraan itu ada, tapi tidak bisa memberdayakan masyarakat untuk bersaing dengan orang kaya. Sejak kecil modalnya lumpuh, tapi kalau sudah dewasa masih kehilangan modal,” ujarnya.