Jakarta, CNN Indonesia —
Pemberlakuan keadaan darurat militer di Korea Selatan oleh Presiden Yoon Suk Yeol pada Selasa malam (12/3) waktu setempat menimbulkan kemarahan di negara tersebut.
Pasalnya, banyak masyarakat Negeri Ginseng yang menolak status tersebut.
Mereka melakukan demonstrasi besar-besaran di depan gedung Majelis Nasional Korea Selatan untuk mendesak Yoon mengundurkan diri sebagai presiden dan mendesak militer Korea Selatan untuk menangkapnya.
“Tangkap Yoon Suk Yeol,” teriak para pengunjuk rasa, dikutip New York Times.
Di tempat lain, tepatnya di pinggir Gwanghwamun Square, jantung kota Seoul, hal serupa terjadi. Beberapa orang memegang plakat yang menyerukan pengunduran diri Presiden Yoon.
Akibat protes tersebut, Presiden Yoon akhirnya memutuskan untuk mencabut status darurat militer Korea Selatan pada Rabu (4/12) pagi waktu setempat. Pencabutan darurat militer terjadi setelah Yoon mengumpulkan anggota kabinetnya dan menyetujui tekanan dari Majelis Nasional melalui pemungutan suara untuk mencabut keadaan darurat.
Lantas mengapa warga Korea Selatan marah dan menolak darurat militer yang diumumkan Presiden Yoon?
Alasan sejarah yang kelam
Analis hubungan internasional Universitas Diponegoro Aniello Ello Iannone mengatakan penolakan warga Korea Selatan terhadap bantuan militer disebabkan oleh sejarah masa lalu negara tersebut.
Pada tahun 1980-an, kediktatoran Korea Selatan yang dipimpin oleh Chun Doo Hwan juga mengumumkan darurat militer dalam konflik dengan Korea Utara. Korea Selatan mengumumkan keadaan darurat militer untuk pertama kalinya.
Namun, kata Iannone, status darurat militer di Korea Selatan saat itu justru dijadikan sebagai alat untuk menekan kebebasan masyarakat. Dengan kata lain, Korea Selatan menerapkan status darurat militer agar warganya menerima keputusan pemerintah.
Muak dengan persetujuan pemerintah, warga Korea Selatan saat itu melancarkan pemberontakan di kota Gwangju. Pemberontakan ini dilakukan untuk mengubah Korea Selatan menjadi negara yang lebih demokratis.
Peristiwa yang dikenal dengan nama Serangan Gwangju ini menjadi peristiwa bersejarah. Karena pemberontakan ini tercatat, ratusan orang tewas.
Kenangan “kelam” inilah yang menimbulkan sakit hati yang mendalam bagi warga Korea Selatan ketika Presiden Yoon mengumumkan darurat militer pada Selasa lalu. Warga Korea Selatan khawatir kejadian serupa seperti tragedi Gwangju terulang kembali hari ini.
“Pada periode ini [1980-an], darurat militer digunakan sebagai alat untuk menekan gerakan demokrasi dan kebebasan sipil yang berpuncak pada peristiwa seperti Genosida Pemberontakan Gwangju,” jelas Iannone saat dihubungi fun-eastern.com pada Rabu (4/12). ). .
“Kenangan ini telah meninggalkan hubungan abadi antara darurat militer dengan penindasan dibandingkan keamanan dan membuat penerapan baru ini tidak populer,” lanjutnya.
Bersambung di halaman berikutnya…