Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah Vietnam telah menurunkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen hingga Juni 2025.
Hal itu terjadi setelah Majelis Nasional pada Sabtu (12/7) menyetujui perpanjangan pengurangan PPN sebesar 2 persen hingga akhir Juni 2025. Kebijakan diskon PPN ini berlaku mulai tahun 2022 dan seterusnya.
Perpanjangan kebijakan pengurangan PPN diharapkan dapat membantu merangsang daya beli dan merangsang aktivitas dunia usaha. Pemerintah Vietnam ingin harga barang dan jasa turun agar perekonomian bisa tumbuh.
Berdasarkan laporan Vietnam News, beberapa barang dan jasa yang dikenakan tarif pajak 10 persen akan menikmati tarif 8 persen selama enam bulan ke depan.
Namun pengurangan PPN ini tidak berlaku untuk sektor properti, sekuritas, perbankan, telekomunikasi, informasi dan teknologi, batubara, bahan kimia, serta sektor produk dan jasa yang dikenakan pajak konsumsi khusus.
Kementerian Keuangan Vietnam memperkirakan penurunan PPN menjadi 2 persen akan mengurangi pendapatan pemerintah sebesar USD 1,02 miliar atau sekitar Rp 16,29 triliun (dengan asumsi nilai tukar Rp 15.970) pada paruh pertama tahun 2025.
Namun, pemerintah Vietnam optimis bahwa pengurangan PPN akan membantu meningkatkan produksi dan bisnis serta menghasilkan pendapatan bagi anggaran negara.
Kebijakan pengurangan PPN di Vietnam telah diterapkan mulai tahun 2022 untuk mendukung industri dan mendorong konsumsi pasca pandemi Covid-19.
Alhasil, daya beli masyarakat pun datang lebih cepat pada tahun itu. Total penjualan ritel barang dan jasa meningkat 19,8 persen dibandingkan tahun 2021.
Nantinya pada tahun 2023, penurunan PPN menjadi 8 persen akan berkontribusi pada peningkatan penjualan ritel barang dan jasa sebesar 9,6 persen.
Kebijakan pengurangan PPN jelas berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Vietnam. Perekonomian Vietnam akan tumbuh sebesar 8,02 persen pada tahun 2022. Pendorong utamanya adalah ekspor dan penjualan ritel yang kuat.
Ini merupakan peningkatan tercepat sejak tahun 1997. Pertumbuhan pendapatan nasional bruto (PDB) lebih tinggi dari target resmi pemerintah sebesar 6,0 hingga 6,5 persen.
Laju ini lebih cepat dibandingkan tahun 2021 yang hanya tumbuh 2,58 persen akibat penerapan shutdown sehingga memberikan tekanan pada perekonomian mereka dan berdampak pada aktivitas pabrik di sana.
(pta/pta)