
Jakarta, CNN Indonesia —
Pekerja merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai taraf hidup tahun 2024 sebesar Rp 1,02 juta per bulan.
Meski disebut ‘standar’, BPS menegaskan hal tersebut bukanlah standar hidup warga Indonesia. Standar hidup yang layak hanyalah bagian dari pengukuran indeks pembangunan manusia (HDI).
Standar hidup yang cukup nominal mencerminkan jumlah barang dan jasa yang digunakan masyarakat. BPS menyatakan, semakin tinggi angkanya berarti semakin baik taraf hidup.
Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritisi penggunaan istilah ‘standar’ dalam survei BPS. Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat mewanti-wanti bahaya kesalahpahaman data yang mungkin mirip dengan komponen kehidupan wajar (KHL).
KHL ini memang menjadi standar bagi para pekerja, misalnya buruh, untuk mendapatkan kehidupan yang layak dalam sebulan. Kabarnya, pemerintah akan kembali menggunakan komponen tersebut sebagai dasar penghitungan Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Masalahnya, BPS menggunakan ungkapan ‘reasonable living’. Jadi masih simpang siur, masyarakat juga bingung. Seharusnya tidak menjadi standar hidup yang pantas disebut ‘rata-rata’, begitulah,” kata Mirah. fun-eastern.com, Kamis (28/11).
“Harus jelas juga siapa yang disurvei. Apakah keluarga atau perorangan. Harus ditunjukkan (siapa responden BPS), sesuai survei yang dilakukan,” ujarnya.
Meskipun istilah BPS masih diperdebatkan, Mirah berpendapat rendahnya angka standar hidup cukup mencerminkan rendahnya upah yang diterima pekerja Indonesia. Ia menegaskan, pendapatan yang diperoleh para pekerja saat ini tidaklah cukup.
Ia mencontohkan seorang pekerja yang hanya memiliki gaji bulanan RAI 3 juta di sakunya. Namun, sang pekerja juga harus menanggung biaya hidup istri dan kedua anaknya.
Ujung-ujungnya gaji Rp 3 juta harus ‘ditabung’. Penghasilannya kecil, tapi nyatanya harus dikeluarkan (uang) yang tidak bisa dikurangi. Listrik tidak bisa dikurangi, pembayaran sewa tidak bisa dikurangi. kata Mirah.
“Mau tidak mau, mereka mengurangi konsumsi pangan sehingga berujung pada kehidupan yang tidak layak. Mereka harus mencari tempat tinggal yang sesuai dengan pendapatannya, sehingga mereka mencari tempat yang tidak layak,” ujarnya. .
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) Ristadi juga belum mengetahui parameter taraf hidup layak menurut BPS. Ia menanyakan poin apa dari survei yang menghasilkan angka Rp 1,02 juta per bulan.
Sementara BPS menyatakan, ukuran standar hidup layak dalam IPM dihitung dari rata-rata pengeluaran Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Angka-angka yang muncul dikatakan disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli.
“Bayangkan, bagaimana bisa hidup layak dengan uang Rp 1 juta sekarang?” Ristadi bertanya dengan heran.
“Apakah angka-angka ini mewakili kehidupan yang layak bagi para pekerja? Tidak sama sekali!” dia menekankan.
Ristadi lebih akrab dengan istilah KHL. Selain itu, komponen umur wajar juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan besaran UMP beberapa tahun lalu.
Lalu berikan contoh harga sewa rumah termurah sekitar Rp 500 ribu per bulan. Oleh karena itu, Ristadi menegaskan, tidak tepat jika Rp 1,02 juta menjadi ‘standar hidup yang wajar’.
“Nah, kalau ada pekerja yang berpenghasilan Rp 1 juta (per bulan), bisa dibayangkan gaya hidupnya seperti itu? Benar!” dia menutupnya.
(skt/sfr)