
Jakarta, CNN Indonesia –
Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi pembiayaan kreatif sektor infrastruktur dapat menjadi salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan 8 persen, Presiden Prabowo Subianto Asta Sita.
Lalu Taruna Anugera, Kepala Badan Regulasi dan Pengembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur, Kementerian Keuangan, DJPPR mengumumkan, “Pembiayaan kreatif adalah cara yang tepat untuk memanfaatkan 8 persen perekonomian untuk infrastruktur.” Di Jakarta, Rabu (18/12).
Ia kemudian menegaskan, Indonesia membutuhkan dana sebesar 6.400 triliun untuk membangun infrastrukturnya. Persyaratan ini tidak dipenuhi oleh APBN.
Ia mengatakan, kerja sama antara pemerintah dan swasta, serta BUMN diperlukan untuk mengisi kesenjangan keuangan yang tidak dapat ditutupi oleh APBN.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya akan mengedepankan strategi keuangan yang canggih dengan memadukan berbagai sumber keuangan dari APBN, pemerintah daerah, dan swasta dalam membangun infrastruktur.
“Dalam konteks ini, berbagai instrumen keuangan kreatif seperti Public-Private Partnership (PPP) sangat relevan. Yang dijanjikan PPP bukan hanya pembelian properti, namun tingkat pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.” – dikatakan. Lalu.
Ia mengatakan, pemerintah memang sudah mulai kreatif berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur. Salah satunya adalah proyek Bandara Singkawang di Kalimantan Barat.
“Proyek ini menggunakan pembiayaan campuran, yaitu bersumber dari Jaminan Sosial Negara (SBSN), anggaran pemerintah daerah, dan kontribusi swasta. Proyek ini memudahkan biaya yang ditanggung swasta, dan memudahkan investor. Menariknya , “katanya. .
Di tempat yang sama, Wakil Direktur Bisnis PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) Pratomo Ismujatmika mengungkapkan besarnya manfaat pembiayaan kreatif. Menurut dia, rencana ini dapat menarik minat investor sekaligus menjaga stabilitas keuangan.
“Di ASEAN, pemerintah sendiri mampu memenuhi 37 persen kebutuhan infrastruktur melalui APBN. Hal ini menunjukkan pentingnya partisipasi swasta melalui skema pembiayaan yang inovatif,” ujarnya.
Meski memiliki manfaat yang besar, namun menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam menerapkan rencana keuangan kreatif ini.
Pratomo mengatakan, investasi di bidang infrastruktur berisiko. Hal ini mencakup risiko politik, minimnya akses terhadap pendanaan, rendahnya standar ESG, dan minimnya dukungan terhadap skema kemitraan publik-swasta (KPS).
Oleh karena itu, kata dia, jaminan seperti yang dilakukan PT PII kini diperlukan. Penjaminan ini berupaya untuk mengatasi beberapa tantangan, termasuk bankabilitas investasi infrastruktur, risiko pembiayaan proyek yang kompleks, dan hasil investasi.
“Jaminan pemerintah merupakan alat pembiayaan dan cara mengurangi risiko investasi bagi sponsor, peminjam, dan PJPK,” kata Pratomo.
Diketahui, PT PII sendiri didirikan pada 30 Desember 2009 dan sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh Kementerian Keuangan. Perannya adalah untuk memberikan jaminan pemerintah, persiapan proyek dan dukungan untuk pengembangan kapasitas dan perlindungan. Khusus proyek KPBU, perseroan telah menggarap 35 proyek senilai Rp 303 triliun sejak 30 November 2024.
Di sisi lain, Peneliti INDEF Ario DP Irhamna menyampaikan pandangannya mengenai tantangan dan kebutuhan pembiayaan infrastruktur kritis.
“Proyek infrastruktur memerlukan investasi besar dan payback period yang lama. Hal ini memerlukan kebijakan berkelanjutan dan strategi keuangan yang efektif untuk mengurangi risiko bagi investor,” kata Ario.
Ia juga mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan proyek infrastruktur, antara lain studi implementasi yang buruk, kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah, dan pengaruh politik jangka pendek.
Oleh karena itu, Ario mengungkapkan ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan agar proyek infrastruktur dapat berjalan efektif dan efisien.
“Perkuat analisis teknis, finansial, dan lingkungan, penyederhanaan birokrasi dengan platform digital, dan pemantauan independen untuk akuntabilitas,” ujarnya. (Sabtu/Agustus)