Jakarta, CNN Indonesia –
Mikheil Kavelashvili, 53, mantan klub Liga Premier Manchester City, memenangkan pemilihan pada Sabtu (14 Desember) dan menjadi Presiden Georgia. Partai Impian Georgia yang dipimpin Kavelashvili mengendalikan lembaga pemilihan yang beranggotakan 300 orang.
Sistem pemilihan presiden melalui Electoral College menggantikan pemilihan presiden langsung pada tahun 2017. Kavelashvili bermain untuk Manchester City dari tahun 1995 hingga 1997 sebelum bermain untuk beberapa klub di Liga Super Swiss.
Seperti diberitakan ITV News, Partai Impian Georgia terus mendominasi wilayah Kaukasus Selatan pada pemilu 26 Oktober, yang menurut pihak oposisi dicurangi dengan bantuan Rusia.
Presiden Georgia yang akan keluar, Salome Zurabishvili, dan partai-partai pro-Georgia telah menunda sidang parlemen dan menuntut pemilihan umum baru.
Partai Impian Georgia telah berjanji untuk terus memperjuangkan keanggotaan UE, tetapi juga ingin “mengubah” hubungan dengan Rusia.
Para penentang menyebut langkah tersebut sebagai penghinaan terhadap nasionalisme Eropa dan kemenangan mantan kaisar Rusia.
Pada tahun 2008, Rusia berperang singkat dengan Georgia, di mana Moskow mengakui kedua negara yang memisahkan diri tersebut sebagai negara merdeka dan meningkatkan kehadiran militer Rusia di Ossetia Selatan dan Abkhazia.
Kritikus menuduh Partai Impian Georgia, yang didirikan oleh Bidzina Ivanishvili, seorang miliarder yang memperoleh kekayaannya di Rusia, terlalu kuat dan condong ke Moskow. Partai yang berkuasa membantah tuduhan tersebut.
Gerakan Georgian Dream baru-baru ini mengeluarkan undang-undang serupa dengan yang digunakan oleh Kremlin untuk menekan kebebasan berbicara dan hak-hak LGBTQ+.
Politisi pro-Barat Salome Zourabichvili telah menjadi presiden sejak 2018 dan berjanji untuk tetap menjabat setelah masa jabatan enam tahunnya berakhir pada hari Senin. Dia menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin yang sah hingga pemilu berikutnya.
Keputusan Partai Impian Georgia bulan lalu untuk menunda perundingan mengenai upaya negaranya untuk bergabung dengan Uni Eropa memicu kemarahan oposisi dan memicu protes. (wah/wah)