Jakarta, CNN Indonesia –
Usulan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilu tidak langsung melalui RPPD dalam pemilu daerah sebenarnya bukan merupakan solusi atas mahalnya biaya politik langsung.
Usulan ini diyakini hanya akan mengalihkan permasalahan yang dihadapi masyarakat dari ruang publik ke ruang yang lebih privat di luar tembok dewan.
Namun persoalan tingginya biaya politik yang selama ini dianggap berasal dari partai politik tidak disinggung.
“Sepertinya kita baru saja memindahkan persoalan ruang publik ke ruang tertutup DPRD,” kata pengamat pemilu sekaligus dosen FISIP UI Titi Angrain, Senin (16/12).
Prabowo membuka pidato pilkada untuk dipilih kembali melalui DPRD saat berbicara pada acara HUT ke-60 Golkar di Sentul, Bogor, Kamis (12/12). Ia menganalisis biaya pemilu di negara-negara tetangga, yang menurutnya lebih murah.
“Saya lihat negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali pilih anggota RPPD, pilih satu kali, lalu RPPD pilih gubernur, pilih bupati,” kata Prabowo dalam pidatonya. Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Sentuli, Kamis (12/12).
Prabowo menilai pilkada melalui RPPD bisa menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara. Agar dana yang dialokasikan dari APBD dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih penting bagi masyarakat nantinya.
“Secara efektif, kita tidak mengeluarkan uang seolah-olah kita kaya, uang untuk memberi makan anak-anak kita, uang untuk memperbaiki sekolah dan memperbaiki sistem irigasi,” kata Prabowo.
“Sebenarnya banyak sekali pimpinan partai politik di sini. Sebenarnya kita bisa memutuskan malam ini, bagaimana caranya? dia menambahkan.
Sementara itu, Titi mengingatkan, perubahan sistem pemilu daerah dari tidak langsung menjadi langsung pada tahun 2004 seperti saat ini, awalnya merupakan reaksi terhadap tingginya praktik kebijakan moneter. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dilatarbelakangi oleh praktik jual beli kursi anggota RPPD untuk memilih pemimpin daerah (candidate buy).
Pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menekan biaya yang ditanggung negara. Namun, menurutnya, hal tersebut tidak serta merta mengecualikan praktik kebijakan moneter dan politik mahal dalam proses pemilu.
Sebab akar permasalahannya, yaitu lemahnya sistem penegakan hukum dan demokrasi di partai, tidak pernah teratasi dan diperbaiki, kata Titi.
Herdiansia Hamzah, pakar hukum tata negara Universitas Mulavarman, menilai usulan Prabowo akan berujung pada amputasi partisipasi warga negara. Menurut Hamzah, partisipasi seluruh warga negara tidak boleh diwakili oleh RPPD sebagai wakil rakyat.
Saat ini, kata Castro, sapaan akrabnya, tidak mudah untuk mempercayai sepenuhnya wakil rakyat di parlemen. Menurut dia, anggota dewan juga punya masalah besar, apalagi dengan oligarki yang bertahan berkuasa, masalah muncul di partai.
“Lalu bagaimana mungkin masyarakat bisa mempercayai suara mereka?” kata Castro saat dihubungi Senin (16/12).
Castro menilai pilkada tidak langsung melalui RPPD hanya akan membawa prosesnya ke koridor gelap kekuasaan dan ragu bisa dilaksanakan secara adil.
“Iya terkesan korupsi, kalaupun proses pemilu dilakukan di ruang gelap RPPD yang membawahinya, yang menjamin proses itu berlangsung adil dan terbukti, itu tidak ada,” ujarnya. . Castro.
Pemerintah memeriksa gelombang udara
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Research Stream (ASI) Ali Rifan meyakini pemerintah memanfaatkan situasi ini dengan ingin melihat respons masyarakat terhadap isu tersebut. Ia meyakini usulan tersebut akan benar-benar terealisasi jika tanggapan masyarakat minim dan positif.
Namun Ali melontarkan komentar soal negara yang dijadikan contoh oleh Prabowo. Ia mengatakan, tiga negara yakni Singapura, India, dan Malaysia hingga saat ini masih menggunakan sistem parlementer dimana eksekutif dipilih oleh legislatif.
Oleh karena itu, kata Ali, tidak pantas jika Prabowo menyamakan Indonesia dengan ketiga negara tersebut. Sebab Indonesia menganut sistem presidensial. “Sehingga tidak sesuai dengan sistem presidensial kita,” ujarnya, Senin (16/12).
Ali khawatir pidato ini juga akan menyebar di kemudian hari. Hal ini tidak hanya berlaku pada pemilu daerah, namun juga pada kekuasaan eksekutif di tingkat pusat, seperti presiden dan wakil presiden. Namun di luar itu, wacana melalui pilkada tidak langsung atau DPRD perlu dikaji secara mendalam, apalagi jika hanya didasarkan pada alasan kebijakan moneter.
“Apa argumen kuatnya untuk segera mengganti solusi verifikasi pra pemilu melalui RPPD?” Kalau alasannya kebijakan moneter, kalau ada pilkada lewat RPPD, bisa dipastikan ada. Tidak ada kebijakan moneter,” katanya.
Terakhir, Ali menegaskan, dalam sistem presidensial, eksekutif mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak mudah untuk memberhentikan presiden/kepala daerah oleh DPR atau DPRD.
(melalui/ugo)