Jakarta, CNN Indonesia –
Beberapa negara di Timur Tengah dan Eropa umumnya mengkritik Israel atas tindakannya memperluas pemukiman di Dataran Tinggi Golan, Suriah.
Israel merebut zona penyangga di Dataran Tinggi Golan setelah runtuhnya rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad pada 8 Desember. Beberapa hari kemudian, negara Zionis menyetujui perluasan pemukiman di wilayah Suriah.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa mereka akan menghabiskan lebih dari 40 juta shekel (sekitar 177 miliar rubel) untuk meningkatkan jumlah pemukim.
“Memperkuat Golan berarti memperkuat negara Israel, dan ini sangat penting saat ini,” kata Netanyahu, dikutip Al Jazeera, Minggu (15/12).
Qatar mengkritik rencana Israel untuk menambah pemukim di Golan. Doha menyebut skema tersebut sebagai “episode baru dalam serangkaian agresi Israel di wilayah Suriah.”
Yordania juga menyebut rencana Israel sebagai “pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional.”
Jordan merujuk pada perjanjian tahun 1974 antara Israel dan Suriah, yang memuat batas-batas zona penyangga dan zona demiliterisasi antara Suriah dan Israel.
Turki juga mengkritik upaya Israel untuk “memperluas perbatasannya”. Arab Saudi juga menyebut tindakan Israel sebagai “sabotase berkelanjutan terhadap peluang Suriah memulihkan keamanan dan stabilitasnya.”
Mesir juga menganggap keputusan Israel untuk memperluas permukiman sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Suriah.”
Jerman mengeluarkan kecaman serupa bersama dengan negara-negara Timur Tengah, dengan menekankan bahwa wilayah Golan adalah milik Suriah berdasarkan hukum internasional.
Israel menduduki sebagian Dataran Tinggi Golan dalam Perang Enam Hari tahun 1967.
Suriah berusaha merebut kembali Dataran Tinggi Golan pada tahun 1973 tetapi gagal. Oleh karena itu, setahun kemudian, dibuatlah zona penyangga untuk memisahkan wilayah yang masih dikuasai Israel dan Suriah.
Pada tahun 1981, Israel mendirikan pemukiman ilegal di Dataran Tinggi Golan dan mengklaim wilayah tersebut sebagai miliknya. Sebagian besar komunitas internasional tidak mengakui aneksasi tersebut.
Berdasarkan hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB, wilayah tersebut dianggap wilayah pendudukan. (blq/membaca)