Jakarta, CNN Indonesia —
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan wilayah Jakarta bisa dilanda tsunami jika ada patahan mega kabel yang putus di Selat Sunda. Masyarakat diimbau tetap waspada.
Noureni Rahma Hanifa, peneliti Pusat Penelitian Bahaya Geologi BRIN, mengatakan gempa kuat bisa terjadi kapan saja di selatan Jawa, sehingga bisa memicu tsunami skala besar, seperti yang terjadi di Provinsi Aceh 20 tahun lalu.
Rahma menjelaskan, berdasarkan hasil penelitiannya, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik dalam jumlah besar dan dapat memicu gempa berkekuatan 8,7 hingga 9,1 SR.
Usai menghadiri acara di Banda Aceh dalam rangka memperingati 20 tahun tsunami Aceh, Rahma mengatakan: “Arus balik yang sangat besar ini dapat menimbulkan gempa bumi dan tsunami yang besar. Gempa dan tsunami tersebut akan merambat ke Jakarta melalui Selat Sunda, dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam.”
Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan BRIN dan kelompok riset berbagai lembaga, diperkirakan tinggi gelombang tsunami akibat gempa Megaquake Selat Sunda mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa, dan 3-15 meter di pantai selatan Jawa. Selat Sunda. Sekitar 1,8 meter dari pantai utara Jakarta.
Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran tahun 2006 yang disebabkan oleh tanah longsor laut di dekat Nusa Kampangan.
“Seiring berjalannya waktu, energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah. Jika segera dilepaskan, guncangan tersebut akan menimbulkan tsunami dahsyat yang dapat berdampak luas tidak hanya di selatan Jawa, tetapi juga wilayah pesisir lainnya. “La Hema menjelaskan.
Singkirkan tarikan yang berlebihan
Rahma menekankan pentingnya mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan struktural dan non-struktural.
Pendekatan struktural meliputi pembuatan tanggul penahan tsunami, pembangunan pemecah gelombang dan penataan ruang wilayah pesisir, pengamatan garis pantai dari jarak aman 250 meter.
“Pengembangan hutan pantai atau vegetasi alami seperti pandan dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” ujarnya.
Sedangkan pendekatan non-struktural meliputi kesiapsiagaan masyarakat melalui pelatihan pengurangan bahaya, pelatihan simulasi evakuasi, dan penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
Dia mengatakan lembaga-lembaga terkait dan pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat memahami potensi ancaman tsunami, memiliki sistem peringatan dini yang efektif, dan kemampuan merespons dengan cepat.
Rahma mengatakan, di wilayah perkotaan seperti Jakarta, yang kepadatan penduduknya tinggi dan endapan tanah cenderung memperbesar getaran, upaya mitigasi juga harus mencakup modifikasi atau penguatan struktur bangunan.
“Upgrade sangat penting, terutama pada bangunan di kawasan padat penduduk, karena guncangan yang kuat dapat menimbulkan kerusakan besar dan korban jiwa,” ujarnya.
Sementara itu, di kawasan industri seperti Cilegon, juga terdapat kekhawatiran gempa dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia dari pabrik-pabrik besar. Ini adalah bahaya sekunder yang harus diatasi dengan menerapkan standar keselamatan yang ketat.
Gempa bumi yang berulang
Berdasarkan studi paleotsunami, BRIN menemukan periode kekambuhan gempa di selatan Jawa berkisar antara 400 hingga 600 tahun. Peristiwa terakhir diperkirakan terjadi pada tahun 1699, dan energi yang tersimpan kini telah mencapai titik kritis.
“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” ujarnya.
Dalam rangka mitigasi bencana, BRIN bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, BMKG dan instansi terkait lainnya untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami khususnya di Selat Sunda dan wilayah selatan Pulau Jawa.
“Salah satu upayanya adalah dengan memasang sensor pendeteksi perubahan permukaan laut di kawasan rawan tsunami,” kata Rahma seraya menjelaskan bahwa sensor tersebut bisa “runtuh” sewaktu-waktu.
BMKG mencatat, saat ini dua kawasan mega dorong masih menjadi ancaman karena sudah lama tidak mengeluarkan energi dalam jumlah besar. Kedua wilayah ini diperkirakan akan “meledak” berulang kali dalam selang waktu ratusan tahun.
Kedua kawasan tersebut adalah Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Sibert. Kedua zona ini disebut seismic gap, yaitu wilayah yang berpotensi menjadi sumber gempa namun belum pernah mengalami gempa besar dalam beberapa dekade atau abad terakhir.
Dalino, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, mengatakan kedua mega kabel tersebut “hanya menunggu waktu” untuk putus. Namun belum diketahui secara pasti kapan sabuk dorong raksasa ini akan mengguncang bumi.
“Bisa dikatakan pelepasan seismik kedua segmen sesar dorong besar ini ‘hanya tinggal menunggu waktu saja’, karena sudah ratusan tahun kedua wilayah tersebut tidak mengalami gempa besar,” kata Dalino beberapa waktu lalu.
Sesar megathrust Selat Sunda memiliki panjang 280 kilometer dan lebar 200 kilometer, dengan slip rate tahunan sebesar 4 sentimeter. Tercatat sebagai “ledakan” pada tahun 1699 dan 1780 dengan kekuatan 8,5 skala Richter.
Sementara itu, sesar megathrust Mentavai-Sibilu yang panjangnya 200 kilometer, lebar 200 kilometer, dan tergelincir dengan kecepatan 4 sentimeter per tahun, masing-masing mengalami gempa berkekuatan 8,7 dan 8,9 magnitudo pada tahun 1797 dan 1833. (Tim/DMI)