Jakarta, CNN Indonesia —
Dewan Keamanan Nasional Iran untuk sementara menghentikan sementara penerapan rancangan undang-undang (RUU) tentang wajib berhijab bagi perempuan di Teheran.
Keputusan ini diumumkan pada Senin (16/12/12) oleh Wakil Presiden Shahram Debiri.
Dalam wawancara dengan surat kabar Ham Mihan, menurut BBC, Debiri berkata: “Berdasarkan diskusi, telah diputuskan bahwa RUU ini belum akan diteruskan ke pemerintah.”
Debiri mengatakan, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menerapkan undang-undang tersebut. Undang-undang ini seharusnya berlaku mulai Jumat (20 Desember).
Undang-undang wajib berhijab ini mendapat banyak kritik dari para aktivis hak asasi manusia (HAM) sejak pertama kali diperkenalkan. Pasalnya, aturan ini melarang perempuan, termasuk anak perempuan, untuk terpapar ke publik.
Pelanggar akan dihukum berat.
Pelanggar aturan ini akan dijatuhi hukuman denda dan hingga 15 tahun penjara.
Menurut Amnesty International, pihak berwenang Iran “berusaha memperkuat sistem penindasan yang sudah mencekik” di negara tersebut.
Sebelum undang-undang wajib berhijab ini, Iran memiliki peraturan yang mewajibkan perempuan mengenakan pakaian Islami. Undang-undang ini mendapat tentangan keras, terutama setelah kematian seorang wanita bernama Mehsa Amini.
Di Iran, persoalan pakaian sudah menjadi persoalan besar di masyarakat. Pada tahun 2022, seorang wanita bernama Mahsa Amini meninggal saat ditahan karena melanggar aturan berpakaian Teheran.
Kematian Mehs Amini memicu ledakan protes besar-besaran di negara tersebut karena dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Masoud Mezikian, presiden Iran, juga berjanji selama kampanye pemilihannya bahwa dia akan menjamin bahwa Iran tidak akan mencampuri kehidupan pribadi masyarakat, terutama perempuan.
Pada saat yang sama, dia mengindikasikan akan meninjau kembali aturan ketat tersebut. Para dokter menyebut undang-undang ini tidak jelas dan perlu direformasi. (blq/membaca)