Jakarta, CNN Indonesia –
Guru Besar IPB University, Herry Purnomo menyoroti dampak negatif dari rencana pemerintah yang mengubah lahan hutan menjadi lahan untuk mencukupi pangan dan energi.
Menurut Herry, konversi hutan menjadi penyimpan pangan dan energi tentu memberikan dampak, salah satunya adalah berkurangnya penyimpanan karbon yang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, penggundulan hutan juga berdampak pada keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Hutan terbuat dari pepohonan yang berbeda, berbeda dengan pertanian tradisional saja, kata Herry.
Tumbuhan yang berbeda juga akan mempengaruhi hewan yang hidup di lingkungan hutan.
Herry mengatakan, Jumat, 1/3: “Dari segi spesies, jumlahnya akan sangat berkurang. Orangutan tidak bisa hidup dari nasi. Orangutan tidak makan untuk memasak.”
Konversi lahan hutan menjadi pertanian juga disebut akan menurunkan kemampuan tanah dalam menyimpan air, melindungi polusi, dan melawan hama dan penyakit.
Kepala ilmuwan CIFOR-ICRAF mengatakan bahwa kehutanan dan pertanian harus seimbang, keduanya penting. Namun, ia menyarankan penghematan sebagai respons terhadap permintaan pangan, bukan ekspansi.
Ketahanan pangan, energi, dan air merupakan salah satu misi pemerintah yang diusung Presiden Prabowo Subianto dalam 8 misi yang disebut Asta Cita. Saat ini, pekerjaan tersebut disebut-sebut memanfaatkan lahan hutan seluas 20 juta hektar.
Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengumumkan rencana pemerintah mengubah hutan lindung seluas 20 juta hektar menjadi lahan pangan, energi, dan air.
Raja Juli mengatakan usulan tersebut akan memberikan dukungan langsung terhadap proyek Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Selain itu, kata Pak Herry, deforestasi dapat berdampak negatif terhadap ketahanan pangan. Penyebabnya karena pemanasan global karena penggundulan hutan dapat merusak tanaman pertanian sehingga menyebabkan gagal panen.
“Kemudian, ketika suhu meningkat, produktivitas menurun, kita akan mempercepat pemanasan global dengan menebang hutan,” katanya.
Harry memberikan jawaban lain mengenai swasembada pangan bebas deforestasi, khususnya pangan air. Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara maritim harus bisa menambahkan air dalam misi tersebut.
Laut dan samudera dari ujung Sumatera hingga Papua bisa dimanfaatkan dan tidak akan menghadapi kendala seperti daratan.
Tanyakan tentang tanahnya
Ibu Herry juga menanyakan lahan apa yang akan digunakan untuk menampung 20 juta hektar tersebut, saat ini Indonesia memiliki luas lahan variabel Hasil (HPK) sekitar 12,7 juta hektar, sehingga masih ada 7,3 juta hektar yang hilang.
Dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 51 Tahun 2016, HPK didefinisikan sebagai kawasan hutan produktif dan hutan produktif yang dapat dipertahankan untuk pengembangan di luar usaha kehutanan atau dapat dijadikan lahan pengganti untuk pertukaran hutan. .
Secara sederhana, Harry menjelaskan HPK merupakan hutan produksi yang rusak. Kawasan ini dapat dipertahankan sebagai hutan dan dikelola oleh masyarakat melalui proyek perhutanan sosial, namun juga dapat dimanfaatkan untuk proyek lain seperti lumbung pangan atau Food Farm.
Meskipun lahan HPK yang tersedia sangat luas, namun masih terdapat kesenjangan yang besar yang harus diatasi oleh pemerintah.
Ibu Herry mengatakan, pemerintah pasti bisa menjaga hutan jika ingin memanfaatkan lahan tersebut untuk menghasilkan energi. Berbeda dengan lahan pangan yang menggantikan hutan untuk pertanian, pemanfaatan lahan untuk kebutuhan energi dapat mempertahankan fungsi hutan.
Dengan demikian, akumulasi karbon di kawasan ini tidak berkurang akibat deforestasi.
Lanjutkan di halaman berikutnya…