Jakarta, CNN Indonesia —
Serangkaian peristiwa politik penuh kekerasan yang berujung pada perang akan terus berlanjut sepanjang tahun 2024.
Timur Tengah terus menjadi perhatian komunitas internasional tahun ini, mulai dari agresi Israel yang tidak terkendali di Palestina hingga perang rudal Iran-Israel.
Banyak pengamat khawatir konflik di Timur Tengah dapat mengganggu stabilitas global.
Peristiwa politik paling dramatis di Asia mengguncang negara-negara seperti Bangladesh dan Korea Selatan.
Tahun ini juga merupakan tahun politik global karena banyak negara menyelenggarakan pemilihan umum, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Berikut peristiwa mengejutkan sepanjang tahun 2024 yang dirangkum fun-eastern.com1. Perang Rudal Iran-Israel
Iran dan Israel melancarkan perang rudal sepanjang tahun 2024.
Perang terjadi setelah pasukan Israel mengebom fasilitas diplomatik Iran di Suriah pada 1 April. Dua komandan pasukan khusus dan empat perwira militer Iran tewas dalam serangan itu.
Iran tidak tinggal diam. Dua minggu kemudian, mereka menembakkan ratusan roket langsung ke Israel.
Serangan itu berhasil digagalkan karena sekutu dekat Israel, Amerika Serikat dan Yordania dilaporkan membantu rudal Iran.
Kemudian pada 19 April, Israel kembali menyerang Iran. Mereka menyerang instalasi militer negara musuhnya.
Serangan tersebut mendorong Iran menutup wilayah udaranya dan segera mengaktifkan sistem pertahanan udaranya. Pemerintah telah berulang kali mengatakan akan bereaksi lebih keras terhadap Israel.
Di tengah kemarahan Iran, mereka kehilangan Presiden Ebrahim Raisi, yang meninggal dalam kecelakaan pesawat pada bulan Mei.
Kemudian pada bulan Juli, Iran menjadi semakin marah terhadap Israel setelah ketua Hamas Ismail Haniyeh terbunuh dalam operasi pasukan Zionis di Teheran. Hamas adalah milisi yang dilaporkan mendapat dukungan dan pelatihan dari Iran.
Kemarahan mereka tak kunjung reda, Israel membunuh pemimpin milisi Hizbullah, Hassan Nasrallah, pada September lalu. Operasi ini juga menewaskan utusan seorang jenderal Iran.
Iran sangat marah dan membalas Israel dengan menembakkan 200 rudal balistik hipersonik pada 1 Oktober.
Serangan ini menghantam sistem pertahanan tercanggih negara Zionis, Iron Dome.
“Katakan kepada [Perdana Menteri Israel Benjamin] Netanyahu bahwa Iran bukanlah negara yang berperang, namun Iran berdiri teguh melawan semua ancaman,” kata Presiden Iran Masoud Pezeshkian.
Israel menganggap respons Iran sebagai serangan rudal terbesar dalam sejarah. Beberapa minggu kemudian, pasukan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu melancarkan serangan lainnya.
Mereka menyerang empat kota di Iran dan menargetkan fasilitas militer termasuk depot senjata dan pusat pengembangan nuklir.
2. Israel menyerang Lebanon
Di tengah agresi di Palestina dan konflik yang memanas dengan Iran, Israel melancarkan invasi ke Lebanon.
Intensitas serangan mereka terungkap ketika ribuan pagar diledakkan di Lebanon pada 17 September. Israel diyakini berada di balik insiden tersebut.
Tak lama kemudian, Israel membunuh komandan strategis Hizbullah, Hassan Nasrallah.
Menteri Pertahanan Israel Yoava Gallant bahkan saat itu menyatakan bahwa negaranya sedang memasuki fase perang baru.
Kemudian pada tanggal 1 Oktober, Israel melancarkan invasi ke Lebanon selatan. Mereka mengaku hanya menargetkan infrastruktur Hizbullah.
Namun kenyataannya, pasukan Israel menembaki kamp pengungsi dan menyerang pos pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL).3. Revolusi Gen Z di Bangladesh
Bangladesh menjadi sorotan dunia karena demonstrasi besar-besaran yang berhasil menggulingkan Perdana Menteri Sheikh Hasina, 76, pada Agustus lalu.
Demonstrasi tersebut disebut revolusi Gen Z. Di antara pesertanya adalah pelajar perempuan berusia antara 18 dan 23 tahun.
Protes Gen Z telah menyebar sejak Juli lalu. Saat itu, mereka menuntut penghapusan kuota pegawai negeri sipil (PNS) keluarga prasejahtera yang dinilai diskriminatif.
Kuota PNS ini merupakan cara Hasina mempertahankan kekuasaan dengan menempatkan pendukungnya di lembaga pemerintahan.
Sistem kuota muncul ketika Bangladesh menghadapi tingkat pengangguran yang meningkat drastis, kurangnya kesempatan kerja bagi masyarakat, dan lemahnya perekonomian.
Di Bangladesh, lebih dari 30 juta orang tidak memiliki pekerjaan atau pendidikan.
Demonstrasi kuota PNS yang dimulai dengan damai, berakhir dengan kerusuhan yang menewaskan sekitar 300 orang. Saat itu, aparat keamanan menembakkan peluru karet, dan banyak pengunjuk rasa juga membawa tongkat.
Hasina kemudian menyalahkan pihak oposisi dan memutus jaringan internet di seluruh negeri.
Kematian para pengunjuk rasa menjadi api bagi mahasiswa untuk mengambil tindakan lebih lanjut. Mereka tidak senang dengan tindakan pemerintah dan menuntut pengunduran diri Hasina.
Para pengunjuk rasa kemudian bergegas ke Istana Perdana Menteri di Dhaka. Hasina kemudian mengundurkan diri dan melarikan diri ke luar negeri.
Profesor Sabrina Karim, yang mempelajari masalah kekerasan politik di Cornell University, mengatakan api revolusi menyebar di kalangan anak muda ketika mereka melihat teman-temannya meninggal.
Bahkan jam malam atau pemblokiran internet tidak dapat menghentikan semangat perubahan ini.
“Ini mungkin revolusi pertama yang dipimpin oleh Generasi Z yang berhasil,” kata Karim seperti dikutip CNN.
Bersambung di halaman berikutnya…