Jakarta, CNN Indonesia —
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengatakan, realisasi penerimaan pajak Indonesia per 31 Oktober 2024 tercatat sebesar Rp1.517,53 triliun atau mencapai 76,3% dari target pajak tahun 2024 saja.
Dalam jangka waktu terbatas di akhir tahun ini, tampaknya pencapaian target pajak akan sulit, menurut Said.
Hal ini menunjukkan besarnya tantangan dalam menjaga keseimbangan anggaran negara, terutama dalam mendanai berbagai program yang dibutuhkan masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah membutuhkan penerimaan pajak untuk membiayai berbagai program yang manfaatnya kembali kepada masyarakat, kata Said dalam keterangannya, Minggu (12/8).
Selain itu, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan dampak dari UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan dan Keputusan Perpajakan – merupakan keputusan bersama seluruh pihak di DLR dan pemerintah.
“Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan efisien yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” ujarnya.
Kalaupun ada penyesuaian besaran tunjangan, kata Said, tidak berhenti menjamin tidak adanya kompensasi atas kebutuhan pokok masyarakat, antara lain: beras; benih; jagung; sagu; kedelai; garam, baik beryodium maupun tidak beryodium.
Kemudian daging, yaitu daging yang belum diolah namun telah dibunuh, diiris, dipotong dadu, dibekukan, dibekukan, dibungkus atau dibuka, diasinkan, dikapur, direndam, diawetkan dan/atau dimasak.
Selain telur, telur tersebut juga merupakan telur yang belum diolah, termasuk telur yang sudah dibersihkan, diasinkan, atau dikemas. Susu, mis. J. susu yang diberikan dalam keadaan dingin atau dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lain dan/atau dikemas atau tidak.
Selain itu, buah adalah buah segar yang dipanen, baik dicuci, disortir, digulung, dipotong, diiris, disortir, dan/atau dikemas maupun belum; dan sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dipotong.
Selain barang-barang di atas, semuanya dikenakan pajak sebesar 12 persen, termasuk pajak penjualan barang mewah (PPNBM) seperti mobil, rumah, dan barang mewah, kata Said.
Tujuannya adalah untuk memungkinkan mereka yang memiliki kapasitas lebih tinggi untuk menghasilkan pendapatan publik yang akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk berbagai program sosial untuk meningkatkan taraf hidup dan mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.
Namun jika PPNBM saja dinaikkan untuk menaikkan PPN, maka tidak akan mampu menaikkan target pajak tahun 2025 sesuai UU APBN 2025.
“Karena rata-rata PPNBM tahun 2013-2022 dari kantor pos tidak mencapai 2%, melainkan hanya 1,3% (PPnBM internal + PPnBM impor),” kata Said.
Said saat itu menegaskan, hal tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.
Hal ini, menurut Said, merupakan wujud nyata tanggung jawab negara dalam mendistribusikan kekayaan nasional dengan cara menjadikan pajak yang terkumpul lebih banyak diberikan kepada mereka yang mempunyai kesempatan lebih.
Rencana penerimaan perpajakan tahun 2025 dengan skenario PPN 12% adalah untuk membiayai program prioritas antara lain: Makanan bergizi gratis yang menelan biaya sekitar Rp71 triliun.
Kemudian pemeriksaan kesehatan gratis Rp 3,2 triliun, pembangunan rumah sakit standar Rp 1,8 triliun, renovasi sekolah Rp 20 triliun, dan pangan nasional Rp 15 triliun untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem dan menekan penyebaran penyakit.
DĽR Banggar memahami bahwa pada tahun 2018 hingga 2023, jumlah kelas menengah di Indonesia akan berkurang sebanyak 9 juta jiwa, dari 61 juta jiwa menjadi 52 juta jiwa.
Hal ini berdampak pada penurunan rasio uang terhadap total pengeluaran yang menunjukkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.
“Kita juga tahu bahwa kebijakan kenaikan PPN sebesar 12% akan berdampak pada daya beli masyarakat kelas menengah dan masyarakat miskin pada khususnya,” ujarnya.
Untuk itu, Banggar DLR meminta pemerintah menerapkan kebijakan mitigasi secara komprehensif. Hal ini untuk memastikan dampak kebijakan ini tidak terlalu kuat terhadap kelompok masyarakat yang mengalami penurunan daya beli.
Berikut beberapa usulan kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk membantu masyarakat, khususnya kelas menengah dan masyarakat miskin, dalam menghadapi dampak kenaikan PPN:
1. Perlunya peningkatan anggaran jaminan sosial masyarakat; Jumlah penerima manfaat asuransi sosial telah meningkat, tidak hanya pada rumah tangga miskin, namun juga pada rumah tangga miskin, hampir miskin/rentan. Serta memastikan program terlaksana tepat waktu dan tepat sasaran.
2. Subsidi minyak, gas, dan lampu untuk rumah tangga miskin tetap dipertahankan, termasuk pengemudi ojek online harus tetap menerima tarif pengisian bahan bakar, meskipun diperlukan untuk menjangkau kelas menengah.
3. Perluasan bantuan angkutan umum pada moda transportasi sehari-hari.
4. Pembiayaan masyarakat menengah ke bawah.
5. Peningkatan bantuan pendidikan tinggi dan beasiswa untuk menjangkau masyarakat menengah ke bawah.
6. Melaksanakan kegiatan perdagangan secara rutin minimal dua bulan sekali untuk mengendalikan inflasi dan menjaga harga pangan tetap terjangkau.
7. Memastikan pemanfaatan barang dan jasa UMKM di lingkungan Pemerintah. Meningkatkan belanja pemerintah untuk barang dan jasa dari 40% menjadi 50% untuk mendapatkan manfaat dari produk Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi yang diproduksi secara lokal.
8. Memberikan pelatihan dan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat kelas menengah. pelatihan keterampilan dan program pengembangan ekonomi bagi kelas menengah yang kurang beruntung untuk membantu mereka beralih ke sektor yang maju dan kompetitif. Bisa juga digabungkan dengan bagian KUR.
(inci/inci)