Surabaya, CNN Indonesia —
Kabarnya, atap ‘Gedung Setan’ di Jalan New Orip dan Tan, Surbia, ambruk pada Rabu (18/12) malam. Banyak warga yang tinggal di bangunan peninggalan Belanda itu harus pindah.
Berdasarkan pantauan fun-eastern.com, lebih dari separuh atap bangunan ambruk. Kayu penyangga ubin terlihat berjatuhan ke dalam apartemen atau ruang tamu para penyewa di bawah.
Bupati Sawahan Amiril Hidiat mengatakan kejadian bermula saat wilayah setempat diguyur hujan deras pada Rabu (18/12) sore.
Sekitar pukul 17.00 WIB hujan turun, kata Emiril.
Namun, Emiril meyakini penyebab runtuhnya atap Gedung Setan bukan karena hujan, melainkan kondisi bangunan yang tampak sudah tua, lapuk, dan tidak layak huni.
“Bangunan ini sudah lapuk dan tidak layak huni. Sebenarnya Gedung Setan sudah lama ditempati banyak orang, tapi tidak ada pemeliharaan sama sekali,” kata Emiril.
Berdasarkan data yang dihimpun Emiril, Gedung Setan dihuni 18 Kepala Keluarga (KK) atau 60 warga. Mereka tinggal di apartemen dua lantai di gedung tersebut.
Kini, seluruh warga yang tinggal di gedung tersebut terpaksa mengungsi ke Balai Masyarakat RW. Sebagian lainnya memilih tinggal di rumah kerabatnya. Akibat kejadian ini, tidak ada orang yang tewas atau terluka.
Di sisi lain, Emiril mengatakan belum bisa dipastikan pengelolaan atau pemeliharaan gedung tersebut akan mengakibatkan gedung tersebut tidak menjadi milik Pemkot Surbia.
“Ini yang akan kami komunikasikan dengan Pemkot Sorbia. Karena bukan milik Pemkot, maka itu milik pribadi. beberapa hari mendatang,” katanya. katanya
Kisah Penghuni Gedung Setan
Sementara itu, salah satu penghuni Gedung Setan, Solastri (42) menceritakan, awalnya anaknya bercerita bahwa atap rumah tempat tinggalnya satu per satu ambruk. Dia bergegas pulang.
Sesampainya di kamar tempat tinggalnya, atapnya sudah runtuh. Ia kemudian mengambil beberapa barang berharganya dan meminta anaknya berlari dari lantai dua ke lantai dasar dan masuk ke dalam gedung.
“Saya naik ke atas untuk mengambil barang-barang berharga saya, surat-surat saya, pakaian saya, tidak butuh waktu lama sampai rusak dan berbahaya. Rabu malam.
Saat berlari menyelamatkan diri, Solasteri mengaku mendengar suara ubin keras dan pohon tumbang. Untungnya, dia dan anaknya tidak terluka.
“Saat saya berlari saya mendengar suara terjatuh yang berbahaya dan saya merasakan sakit, saat saya berjalan saya mendengar suara benturan, benturan,” kata perempuan yang berprofesi sebagai penjahit itu.
Solastri mengaku tinggal di Gedung Setan sejak 2011, saat menikah dengan suaminya, Eko Santoso (48), hingga kini keluarga mereka telah dikaruniai dua orang anak.
Jauh sebelum itu, keluarga besar suaminya, mulai dari kakek, orang tua, hingga adik laki-laki suaminya, semuanya sudah lama tinggal di Gedung Iblis.
“Suami saya di sini sejak lahir tahun 1974. Angkong (kakek) tinggal di sini, setelah zaman Belanda. Keluarga besarnya 10 orang, ada 3 kamar,” ujarnya.
Solastri dan keluarga besarnya kini terpaksa mengungsi. Ia berharap setelah kejadian ini Gedung Iblis dapat diperbaiki dan ia dapat tinggal di dalamnya kembali.
Gedung Setan merupakan bekas gedung kantor gubernur VOC di Jawa Timur yang berdiri sejak tahun 1809. Setelah VOC keluar dari Indonesia, gedung tersebut berpindah kepemilikan kepada Dr. Teng Sioe Hie atau Teng Khoen Gwan.
Pada tahun 1948, saat terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pembunuhan massal di alun-alun, Dr. Teng Siu Hai memutuskan bahwa bangunan yang ditinggalkan tersebut dapat digunakan sebagai tempat tinggal sementara bagi keturunan Tionghoa.
Sejak saat itu, banyak keluarga yang tinggal di Gedung Iblis secara turun-temurun hingga sekarang.
Gedung Setan berdiri di atas lahan seluas sekitar 400 meter persegi, dengan 40 ruangan yang digunakan sebagai apartemen. Gedung ini memiliki tembok setebal hampir 50 cm dan berusia dua ratus tahun.
Gedung ini dinamakan ‘Gedung Setan’ karena kondisinya yang tua dan gelap. Banyak cat bangunan dan fasad yang tampak terkelupas dan membusuk selama bertahun-tahun. Selain itu, warga sekitar juga mengatakan bahwa bangunan ini terletak di atas tanah tempat mereka dikuburkan pada masa lalu. (frd/chri)