Yogyakarta, CNN Indonesia —
Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta memaparkan proses tujuh kali persidangan dalam satu tahun hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan tuntutannya terkait syarat ambang batas presiden.
“Kita sidangnya kurang lebih satu tahun, yaitu pada periode kita kalau tidak salah ada tujuh sidang sampai putusan, antara sidang kedua dan ketiga kita dalam masa KKN, jadi mungkin itu momen-momen yang tak terlupakan, dan juga perjuangan yang sangat berarti bagi kami,” kata Tsalis Khoriul Fatna, salah satu calon mahasiswa, Jumat (1/3).
Menurut Tsalis, dirinya bersama ketiga rekannya yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, dan Faisal Nasirul Haq ikut serta dalam seluruh revisi penting Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi, seperti pemeriksaan pendahuluan dan tes, tanpa didampingi kuasa hukum.
“Dan ketika mereka bertanya apakah kami menggunakan penasihat hukum dan lain sebagainya, kami tidak menggunakan penasihat hukum di sini karena kami masih pelajar, kami tidak dapat menemukan kuasa hukum,” ujarnya.
Meski lebih banyak mengikuti sidang secara daring, mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka ini mengaku dua rekan pemohon, yakni Rizki dan Faisal, merupakan saksi langsung MK, apalagi saat mendengarkan keterangan ahli konstitusi yang disampaikannya. pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yance Arizona.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka Ali Sodiqin mengatakan pihak kampus tidak mempengaruhi kemaslahatan kasus keempat mahasiswa tersebut. Namun pihak kampus tetap memfasilitasi melalui delegasi dan pendanaan prestasi saat Tsalis mengikuti proses MK secara daring maupun langsung.
Ali mengatakan, keempat mahasiswa yang mengadu tersebut merupakan anggota Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), organisasi kemahasiswaan resmi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka, yang memiliki banyak asisten pengajar in-house dan banyak alumni interprofesional. . . jaringan di bidang hukum.
“Jadi kalau mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengacara, itu karena mereka merasa cukup mendapat bantuan dari mentor internalnya dan penasihat luar yang bisa memberikan argumentasi,” imbuhnya.
Dalam bukti materiilnya, keempat mahasiswa ini mengungkapkan kerugian akibat penerapan pasal-pasal undang-undang pemilu yang mengacu pada adanya Presidential Threshold yang mengatur syarat calon presiden memperoleh dukungan politik tertentu.
Pemohon menilai hal ini merupakan langkah yang merugikan moral demokrasi mereka sehingga membatasi hak mereka untuk memilih presiden sesuai dengan preferensi atau dukungan politik mereka.
Pemohon menilai Pasal 222 UU Pemilu melanggar batasan kebijakan hukum terbuka mengenai kesusilaan dan terbukti menggerogoti moralitas demokrasi dengan menyatukan partai politik, yang berakibat pada tidak berjalannya fungsi partai politik sebagaimana diatur pada bagian pertama. paragraf Pasal 11. c UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Mereka juga menilai prinsip “satu orang, satu suara, satu nilai” terdistorsi dengan adanya ambang batas presidensial. Hal ini menimbulkan penyimpangan terhadap prinsip “nilai seragam”, karena nilai suara tidak selalu mempunyai bobot yang sama.
Keempat mahasiswa ini mengatakan, idealnya pemungutan suara mengikuti masa pemilu yang bersangkutan. Namun dalam kasus Presidential Threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilu sehingga dapat menyebabkan distorsi keterwakilan dalam sistem demokrasi.
Keputusan MP untuk menghapuskan kebijakan ambang batas presiden dalam undang-undang pemilu merupakan kali pertama MP sering menolak keputusan-keputusan sebelumnya.
Jika ditilik ke belakang, Mahkamah Konstitusi sudah pernah memutus perkara yang sama atau serupa pada putusan-putusan sebelumnya. Pada Februari 2024, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut aturan Pasal 222 telah diuji sebanyak 27 kali, dengan lima putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima. (ayah baptis/vws)