Jakarta, CNN Indonesia —
Para ilmuwan dari Badan Antariksa Eropa (ESA) sedang bersiap untuk menciptakan gerhana matahari buatan dengan misi luar angkasa revolusioner yang disebut Proba-3.
Misi ini melibatkan dua satelit yang akan terbang dalam formasi yang tepat untuk menciptakan bayangan di luar angkasa, mirip dengan efek gerhana matahari, namun berlangsung lebih lama dan dapat diprediksi dengan lebih tepat.
Proba-3 adalah proyek ESA pertama yang menggunakan teknik penerbangan konfigurasi in-orbit. Dua satelit akan mengorbit Bumi dengan posisi yang konon tidak pernah menyimpang hanya beberapa milimeter saja.
Teknologi ini memungkinkan satelit-satelit tersebut bekerja sama menghasilkan fenomena unik berupa gerhana matahari buatan.
Satelit Britama membawa piringan misterius berdiameter 1,4 meter yang dirancang untuk menghalangi sinar matahari. Sedangkan satelit lain di belakangnya dilengkapi instrumen untuk memantau corona Matahari, lapisan terluar atmosfer Matahari. Kombinasi kedua satelit ini menciptakan instrumen raksasa sepanjang 150 meter yang disebut coronagraph.
Jika semuanya berjalan lancar, peluncuran akan dilakukan dari Satish Dhawan Space Center di India pada Rabu sore waktu setempat pukul 16:08 atau 18:38 WIB. Setelah menempuh perjalanan selama empat bulan, kedua satelit tersebut akan mencapai orbit elips yang memungkinkannya mendekati Bumi dari jarak hingga 595 kilometer hingga jarak lebih dari 59.545 kilometer.
Selama dua tahun, burung luar angkasa akan melakukan manuver formasi selama enam jam per sirkuit, yang memakan waktu total 19,7 jam. Dengan kapasitas tersebut, Proba-3 diperkirakan dapat menciptakan hingga 50 gerhana buatan per tahun, yang masing-masing berlangsung hingga enam jam.
Manfaat ilmiah dari misi Proba-3
Pengamatan terhadap korona Matahari pada gerhana buatan ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru mengenai salah satu misteri terbesar fisika matahari: mengapa suhu korona jauh lebih panas dibandingkan permukaan Matahari itu sendiri.
Suhu permukaan Matahari berkisar 5500 derajat Celcius, sedangkan suhu Korona bisa mencapai lebih dari satu juta derajat Celcius.
Selain itu, data dari Proba-3 akan membantu para ilmuwan memahami cuaca matahari, seperti lontaran massa korona dan badai matahari, yang dapat memengaruhi satelit serta jaringan listrik dan komunikasi di Bumi.
Proba-3 juga berfungsi sebagai uji coba teknologi masa depan. ESA akan menggunakan misi ini untuk menguji manuver yang mungkin berguna dalam misi menyelamatkan satelit yang rusak atau membersihkan puing-puing di orbit.
“Ini adalah eksperimen di luar angkasa untuk mendemonstrasikan konsep baru, teknologi baru,” kata Damien Galano, manajer proyek Proba di Badan Antariksa Eropa, seperti dikutip surat kabar The Guardian, Sabtu (30/11).
Teknik penerbangan formasi ini membuka kemungkinan baru untuk membangun teleskop dan instrumen luar angkasa yang lebih besar dengan menggabungkan beberapa satelit ke dalam formasi yang tepat. Misalnya, instrumen berbasis multisatelit ini dapat digunakan untuk mempelajari krisis iklim, mempelajari objek di tata surya, dan bahkan menemukan planet di luar sistem bintang kita.
“Jika kita dapat menempatkan beberapa satelit secara berdekatan dalam formasi yang absolut, tepat dan akurat, kita akan dapat merakit instrumen yang lebih besar yang terdiri dari beberapa satelit,” kata Dietmar Pilz, direktur teknologi ESA.
Misi senilai 200 juta euro atau sekitar Rp 3,3 triliun ini diharapkan dapat menghasilkan data pertama pada Maret 2025. (wnu/dmi)