Jakarta, CNN Indonesia —
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menangguhkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen.
Anwar menilai penerapan kebijakan tersebut di saat daya beli masyarakat sedang menurun akibat lesunya kehidupan dunia usaha. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan baru juga tidak terlalu kuat.
Anwar mengatakan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/12) bahwa “demi kepentingan semua pihak, sebaiknya pemerintah menunda penerapan kenaikan PPN sebesar 12 persen hingga dunia usaha dan kondisi perekonomian mendukung.”
Ia juga menuntut komitmen Prabo untuk mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat dan kekuasaan. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk memenuhi janji tersebut.
Ia mengaku paham kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12% itu ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Koordinasi Peraturan Perpajakan (NPO). Namun, jika pemerintah menerapkan kebijakan tersebut dalam kondisi saat ini, hal tersebut justru melanggar konstitusi.
“Hal ini tentu tidak sejalan dengan amanat konstitusi karena konstitusi mengharapkan segala tindakan dan kebijakan pemerintah ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Pemerintah telah mengumumkan penerapan pajak pertambahan nilai sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari kebijakan Presiden Joko Widu melalui UU NPO.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebutkan PPN sebesar 12 persen berlaku untuk seluruh barang yang dikenakan PPN. Daftar tersebut mencakup produk dan layanan yang biasa dibeli orang, mulai dari sabun mandi, makanan bawa pulang di restoran, pulsa, tiket konser hingga layanan streaming video seperti Netflix.
Kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12 persen menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Warga protes bahkan mengajukan petisi. Petisi bertajuk ‘Pemerintah, segera batalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai!’ Di change.org, 194,433 orang telah menandatangani pagi ini.
(dhf/sfr)