Jakarta, Indonesia –
Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddi Eury Sitorus menanggapi usulan mantan petinggi PDIP Efendi Simbolon agar Ketua Umum PDIP Jenderal Megawati Soekarnoputri menyerukan perubahan pada Joko Widodo (Jokowi), Presiden ke-7 RI.
Deddi mengatakan Efendi Simbolon sudah berulang kali mendapat teguran dari partai untuk menyerang Jokowi sejak awal pemerintahan hingga 2020 sebelum dipecat.
Menurut dia, gara-gara kebijakan tersebut, Efendi kehilangan momentum di partai hingga akhirnya didiskualifikasi mencalonkan diri pada pemilu legislatif 2024.
“Jadi kalau soal pemilu presiden dan pilkada, Batavia sudah melakukan pendekatan ke berbagai pemilu. Seberapa masuk akal sekarang menasihati Ibu Mega Jokowi?” kata Deddy, Sabtu (21/12) saat dihubungi.
Deddi mengatakan, banyak rumor yang menyebut Effendi menyerang Jokowi di awal pemerintahannya karena bukan menteri terpilih.
Katanya, “Saya tidak tahu benar atau tidak, tapi kami dengar kami merasa dialah yang mengorbankan kemenangan Jokowi dari awal Pilgub hingga Pilpres 2014.
Ia pun mempertanyakan sikap Effendi yang kini membela Jokowi dan menyerang Megawati.
“Kok sekarang dia membela Jokowi dan menyerang Bu Mega? Saya tidak tahu apakah menteri mau mengizinkannya,” ujarnya.
Sebelumnya, Efendi menyampaikan ucapan Natal kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Megawati mengaku harus puas dengan Jokowi, Presiden ke-7 RI.
Dan damai bersama Pak Jokowi yang dibenci. Terima kasih dan Selamat Natal,” kata Effendi usai acara Simbolon Mar Natal 2024 di Gedung Smesco. Kamis di Batavia (19/12).
Effendi mengaku menyayangkan langkah PDIP yang menggulingkan dirinya dan partai besutan Jokowi. Dia menanyakan alasan pemecatan tersebut.
“Kalau saya ketemu Pak Jokowi, katanya itu konspirasi. Saya sedih. Pak Jokowi buruk apa buat PDIP?” katanya.
Sebelumnya, PDIP mendepak Jokowi dan Effendi dari partai bersama 25 kader lainnya. Efendi dipecat karena melanggar etika partai dengan tidak mendukung calon daerah PDIP pada Pilkada 2024.
Pada saat yang sama, Jokowi diberhentikan karena menyalahgunakan kekuasaannya, mencampuri urusan Mahkamah Konstitusi (MC), dan merusak sistem demokrasi, sistem hukum, kehidupan berbangsa, dan sistem moral bernegara. (io/agt)