Jakarta, CNN Indonesia —
Bumi telah mengalami pemanasan selama beberapa dekade, namun kenaikan suhu ekstrem selama dua tahun terakhir mengejutkan para ilmuwan.
Fenomena ini menyebabkan iklim berada pada kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan hingga saat ini para ahli mencoba memahami penyebabnya.
Antara pertengahan tahun 2023 dan September 2024, suhu global mencapai rekor tertinggi, bahkan melebihi prediksi ilmiah. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia, peningkatan suhu selama periode ini tidak hanya signifikan, tetapi juga sulit dijelaskan.
“Pemanasan pada tahun 2023 jauh lebih kuat dibandingkan tahun-tahun lainnya, dan akan sama pada tahun 2024,” kata Gavin Schmidt, direktur Goddard Institute for Space Studies NASA, pada November lalu, seperti dilansir Science Alert, Senin. 23 Desember).
Meskipun para ilmuwan sepakat bahwa pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama pemanasan jangka panjang, faktor-faktor lain seperti perubahan pola awan, polusi udara, dan kemampuan bumi dalam menyerap karbon juga diyakini turut berkontribusi.
Masih harus dilihat apakah semua ini benar-benar berkontribusi terhadap peningkatan suhu drastis.
“Kami masih menilai apa yang terjadi dan apakah kami melihat perubahan perilaku sistem iklim,” tambahnya.
Di luar prediksi
Peningkatan emisi bahan bakar fosil akan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2023, yang mengakibatkan terus meningkatnya suhu permukaan laut dan udara. Namun peningkatan dari Juni 2023 ke September 2024 merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akibatnya, tahun 2023 dan 2024 dinobatkan sebagai dua tahun terpanas dalam sejarah.
Ilmuwan iklim Richard Allan dari University of Reading mengatakan fenomena ini mendorong planet kita jauh ke wilayah yang belum pernah dijelajahi sebelumnya.
Sonia Seneviratne, ahli iklim di ETH Zurich, menambahkan meskipun tren pemanasan jangka panjang dapat dimengerti, intensitas peningkatan ini sulit dijelaskan dengan model iklim yang ada.
Penjelasan sementara adalah pengaruh variabilitas iklim alami. Sebelum tahun 2023, dunia mengalami fenomena La Nina selama tiga tahun yang memerangkap panas di dasar laut, yang kemudian dilepaskan kembali saat El Niño terjadi pada pertengahan tahun 2023.
Namun para ilmuwan bingung dengan fakta bahwa suhu masih tinggi meskipun El Niño mencapai puncaknya pada Januari 2024.
Robert Vottar, anggota panel IPCC PBB, mengatakan fakta bahwa suhu tidak langsung turun menimbulkan pertanyaan besar.
“Jika suhu tidak turun lebih jauh pada tahun 2025, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri alasannya,” katanya.
Beberapa ilmuwan juga menduga adanya penurunan kadar sulfur dalam bahan bakar laut pada tahun 2020, yang dapat mempercepat pemanasan dengan mengurangi pantulan sinar matahari dari awan.
Penelitian lain menunjukkan bahwa lebih sedikit awan tebal yang terbentuk, sehingga memungkinkan lebih banyak panas mencapai permukaan bumi, sehingga mempengaruhi sistem penyangga bumi.
Kekhawatiran semakin besar seiring adanya tanda-tanda bahwa sistem penyangga bumi, seperti hutan dan lautan yang menyerap karbon, mulai melemah. Pada tahun 2023, para peneliti mencatat melemahnya kapasitas penyerapan karbon dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan tundra Arktik, yang telah mengumpulkan karbon dioksida selama ribuan tahun, kini menjadi sumber emisi.
Laut, yang telah lama menjadi penyerap karbon terbesar, juga mengalami pemanasan dengan kecepatan yang belum dapat dijelaskan sepenuhnya.
“Mungkinkah ini merupakan tanda awal bahwa planet ini mulai kehilangan ketahanannya? Kita tidak bisa mengesampingkannya,” kata Johan Rockström dari Potsdam Institute for Climate Impact Research. (wnu/dmi)