Surabaya, CNN Indonesia —
Sidang pertama permohonan santunan 73 keluarga korban tragedi Kanjuruhan ditunda. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya berpendapat persidangan harus ditunda karena polisi sibuk memberikan pengamanan pada Pilkada 2024.
“Sidang terpaksa ditunda karena alasan keamanan, karena pihak kepolisian memberikan pengamanan pada pelaksanaan pilkada hingga penghitungan suara,” kata Ketua Hakim Noor Hollis di Aula Cakra PN Surabaya, Kamis (21/11).
Pernyataan hakim kemudian membantu proses persidangan.Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertindak sebagai kuasa hukum pemohon atau keluarga korban menentang hal tersebut.
Hakim juga menunda persidangan sebanyak dua kali untuk memberi waktu kepada LPSK dan jaksa untuk berunding. Sementara itu, keluarga korban tampak khawatir, ada pula yang tertunduk dan menangis.
“Prinsipnya kami tidak masalah jika pengadilan dipindah sebelum penghitungan suara. Kalau kita usulkan penundaan sampai pemungutan suara, mungkin masih masuk akal, tapi kalau suara dihitung, akan memakan banyak waktu. Riyanto Vikaxana, salah satu perwakilan LPSK, mengatakan dalam persidangan.
Majelis hakim yang terdiri dari Noor Hollis, Khadwanto, dan I Ketut Kimiarsa kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Mereka kemudian memutuskan sidang lanjutan permohonan ganti rugi akan digelar dua pekan lagi, Selasa (10/12).
“Kami akan mengambil jalan tengah. Kami bukan profesional atau profesor di sini. Pilkada tanggal 27 [November] ya, bagaimana kalau Selasa tanggal 10 [Desember]? Kalau perhitungannya memakan waktu terlalu lama,” kata Nur Hollis.
Ia mengatakan, pada sidang berikutnya, hakim menginginkan kelima terdakwa, khususnya terpidana tragedi Kanjurukhan, atau kuasa hukumnya hadir dalam persidangan.
Kelima terpidana tersebut antara lain Ketua Panitia Pemilihan Arema FC Abdul Haris, Petugas Keamanan Pertandingan FC Arema vs Persebayo Suko Sutrisna, eks Danki 1 Polda Jatim AKP Hasdarmawan, eks Kapolsek AKP Samapta Malang Bambang Sidik Achmadi, dan eks Kabag Ops Malanga Wahu Setia Pranata.
Oleh karena itu, sidang ditunda hingga 10 Desember 2024 untuk memanggil terdakwa, tutup Nur Hollis.
Mendengar hal tersebut, histeria pun bermunculan di beberapa keluarga korban tragedi Kanjuruhan yang hadir di aula. Mereka kecewa mengapa sidang ditunda.
Ya Allah, cari keadilan, periksa Angela (mencari keadilan itu sulit), kata salah satu anggota keluarga korban.
Keluarga korban pun berteriak protes. Mereka mengkritik polisi, yang dikatakan meminta agar pengadilan dipindahkan karena alasan keamanan.
“Serahkan saja ke Kapolri, posisi itu tidak ada artinya. Mereka melepas seragammu, kamu jadi manusia biasa,” kata keluarga almarhum.
Pantauan fun-eastern.com, puluhan keluarga korban tragedi Kanjuruhan mengenakan kaus berwarna hitam bertuliskan “Keadilan untuk Kanjuruhan” dan “Tolak Lupakan 1 Oktober 2022”. Ada juga kaos bergambar wajah orang mati.
Usai persidangan, ahli LPSK yang merupakan kuasa hukum keluarga korban, Syakhryal Marthanta Viryava mengatakan, mencari ganti rugi merupakan hak korban yang diatur dalam undang-undang.
“Rehabilitasi adalah hak korban. Korban tindak pidana berhak mengajukan ganti rugi, jadi kami permudah sesuai ketentuan undang-undang,” kata Syagryal.
Dalam permohonan tersebut, sedikitnya 73 korban yang diwakili keluarganya menyerahkan uang sebesar 17,5 miliar rupiah kepada lima terpidana tragedi Kanjuruhan sebagai ganti rugi.
“73 korban, tapi 72 klaim, karena ada satu penggugat yang dua anaknya terbunuh, jadi 73 korban,” ujarnya.
Ia mengatakan, LPSK sebenarnya sudah memfasilitasi keluarga korban untuk mengajukan ganti rugi sejak Februari 2023. Atau saat kasus ini masih menunggu keputusan di Pengadilan Negeri Surabaya. Namun permohonan ganti rugi tidak dikabulkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam tuntutannya terhadap kelima terdakwa.
“Kami bawa ke kejaksaan, tapi bagi kejaksaan itu sudah end of the line (rencana penuntutan). Tapi bagi kami itu seperti undang-undang hanya ke kejaksaan, artinya menurut kami undang-undang itu dibacakan. tidak ada masalah,” ujarnya.
Kemudian, setelah menguatkan keyakinan kelima terpidana, Mahkamah Agung memerintahkan agar perkara pemulihan tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya.
(frd/DAL)